Selasa, 12 Januari 2010

PRESS RELEASE: RATUSAN PEDAGANG PASAR TERONG TUDANG SIPULUNG HARI INI

Rabu 13 Januari 2010, sekitar 300 pedagang berkumpul untuk membicarakan masa depan mereka berjualan di salah satu pasar lokal tertua di Makassar, Pasar Terong. Kegiatan ini digelar dalam rangka ‘Assisambung Kana’ [menyambungkan kata, bahasa Makassar] yang merupakan media bagi pedagang untuk menyampaikan aspirasi mereka kepada pemerintah maupun pemangku kepentingan lainnya di Pasar Terong.

Assisambung Kana, yang kali ini berlangsung di hotel Rosalina adalah yang ketiga kalinya dilaksanakan oleh Persaudaraan Pedagang Pasar Terong (SADAR) atas kerjasama dengan pihak pengelola Pasar Terong. Tema dari kegiatan ini adalah ‘Pasara’ Terong, Lakeko Mae?’ atau ‘Pasar Terong, Mau ke mana dikau?’. Pilihan tema ini berangkat dari kenyataan sehari-hari yang dihadapi oleh pedagang di Pasar Terong. Kenyataan di mana mereka Resah oleh ketidakberpihakan pemerintah kota dalam penataan pasar yang tidak menguntungkan orang-orang yang berinteraksi di dalamnya, pedagang dan pembeli.

Kegiatan ini difasilitasi oleh organisasi pendamping SADAR, yakni Active Society Institute (AcSI) yang selama tiga tahun terakhir, turut menemani para pedagang dan SADAR dalam menghadapi berbagai persoalan di Pasar Terong.

Dalam pertemuan ini, ketua SADAR, Abdul Kadir Daeng Lala (40) mengharapkan agar kesebelas sektor di pasar Terong menyampaikan masalah yang mereka hadapi selama ini dengan berdasarkan urgensi yang dihadapinya. Selanjutnya, ia juga mengharapkan agar setiap sektor mengidentifikasi jalan keluar yang memungkinkan untuk ditempuh sesuai dengan kemampuan pedagang di sector tersebut. Dalam hal ini, sebagaimana yang kerap diutarakan oleh Daeng Lala (panggilan akrab untuknya), SADAR sebagai organisasi pedagang pasar Terong memungkinkan untuk menata diri dan lokasi berjualan mereka, sepanjang hal itu didukung oleh pemerintah kota Makassar.

Dalam pertemuan ini, walikota Makassar dijadwalkan untuk hadir dan mendengar langsung keluhan para pedagang. Kehadiran walikota sebagai pucuk pimpinan di Kota Makassar sangat penting, mengingat saat ini ketidak percayaan pedagang kepada pihak pengelola pasar (pengembang dan PD Pasar Makassar) sangat tinggi.

Menurut Koordinator pelaksana Assisambung Kana, Taufik Manji dari AcSI, persiapan kegiatan ini terbilang sangat singkat, hanya empat hari. Namun, karena format kegiatannya dilaksanakan dengan sederhana dan dukungan beberapa sukarelawan dari AcSI untuk memfasilitasi diskusi kelompok, maka kegiatan ini dapat terlaksana. Pertemuan ini dimulai dengan pembukaan dan diskusi awal oleh Walikota Makassar, Ketua SADAR, Daeng Lala, dan Kepala Pasar Terong, Syamsul Qomar. Selanjutnya, pemaparan singkat dari setiap sektor yang dilanjutkan dengan diskusi kelompok dan presentasi hasil. Dari diskusi tersebut, akan menghasilkan rekomendasi berkaitan dengan solusi yang dapat ditempuh dan pihak-pihak terkait yang mungkin dilibatkan dalam merealisasikan jalan keluar.

Dari pertemuan ini, pertanyaan “Pasara’ Terong, Lake ko Mae?” diharapkan dapat terjawab.

_Let's Work With Community_

Minggu, 10 Januari 2010

PEREMPUAN PEMBERANI DARI PASAR TERONG


Profil singkat; Nursiah Daeng Nur (49), adalah seorang ibu dengan sepuluh anak dan sekaligus pedagang di Pasar Terong yang sejak kecil tumbuh di pasar ini dan mulai menjual di awal tahun 1980. Kiprahnya sebagai pedagang kecil, atau “Pedagang Kaki Lima” sebagaimana sering dicap oleh Negara telah dirasakannya dengan penuh suka dan duka. Dimulai dengan lemahnya akses modal,—yang kemudian diselamatkan oleh budaya sitallassai parangta rupa tau di pasar Terong, atau budaya saling menghidupi satu dengan lainnya—lalu kasarnya perlakuan aparat negara dalam mengendalikan perilaku para pedagang kecil ini (bahkan hingga kini) telah membuatnya semakin tegar dan memahami bahwa “betapa menjadi pedagang kecil adalah sebuah perjuangan hidup di negeri yang pemerintahnya tak peduli orang-orang kecil ini”.

Daeng Nur, adalah figur perempuan pejuang yang terus menerus mengobarkan semangat perlawanan pedagang setiap kali negara dan aktor lainnya memperlakukan mereka secara tidak adil di pasar. Bahkan, peristiwa penganiayaan atas dirinya pada tanggal 31 Oktober 2009 lalu, yang mematahkan tulang pangkal lengannya dan membuat kedua pipi dan paha kananya biru lebam juga tak gentar mengendorkan semangatnya. Bahkan sebaliknya, dia terus membakar semangat pedagang untuk melakukan tuntutan dan perlawanan agar tidak ada lagi pedagang dianiaya seperti dirinya, hingga akhirnya tanggal 9 Nopember 2009, melalui ikatan Persaudaraan Pedagang Pasar Terong atau disingkat SADAR, bersama lebih dari seribu pedagang pasar Terong (dan ratusan simpatisan dari pasar Panampu) mereka Long-March dari pasar Terong ke DPRD kota Makassar untuk memberitakan penganiayaan ini.

Daeng Nur memang hanya pedagang kecil, tapi refleksi dari pengalaman hidupnya sebagai pedagang kecil itu telah membawanya pada kesadaran untuk membebaskan pedagang kecil dari ketidakberpihakan pemerintah. Dia menuntut agar pemerintah kota tidak perlu menggunakan tenaga preman dalam mengatur pasar (premanisme). Menurutnya, penggunaan preman di pasar hanya menimbulkan keresahaan bagi pedagang. Pedagang tentu tidak takut dengan preman, karena di pasar Terong sendiri, para preman dimaksud seringkali adalah tetangga para pedagang. Penggunaan preman baik oleh pengusaha maupun pemerintah hanya menjadi alat untuk memaksakan kehendak. Padahal, pasar adalah milik rakyat, pasar adalah milik pedagang. Bila ingin pasar baik, maka libatkan pedagang dalam mengambil keputusan, mari duduk bersama, begitu Daeng Nur selalu berpikir.

Tapi, pengusaha dan pemerintah lebih sering tutup mata dan tutup telinga. Tindakan mengabaikan pedagang kecil selalu berulang. Sepanjang ingatan Daeng Nur, di akhir 1980an dan di awal 1990an, saat Pasar Terong dikontrol oleh Tentara yang bernama ‘Pak Sampe’—yang dikenal amat kejam kepada pedagang kecil—dia harus pura-pura ‘gila’ agar dapat berjualan setiap harinya di pasar Terong. Bahkan dia harus ‘bergerilya’ dari jalan yang satu ke jalan yang lainnya di area pasar Terong dan membuat ‘kode tertentu’ bagi langgananya agar bisa bertransaksi menjual barang dagangannya. Bukan itu saja, di sepanjang tahun 2000an, saat pengusaha atau pengelola gedung Pasar Terong mulai membayar preman untuk melemahkan posisi pedagang kecil, Daeng Nur rela berhadap-hadapan dengan salah satu preman yang ditakuti banyak pedagang, Daeng Turu’, agar tidak mengganggu sektor Tangga Selatan di mana dia dan ratusan pedagang kecil lainnya berjualan. Begitu seterusnya, hingga kejadian terakhir di mana dia di pelintir, dipukuli, diinjak-injak, bahkan dihadapan lima polisi, beberapa tentara, bahkan seorang pelaksana tugas direktur Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya yang seharusnya melindungi pedagang kecil yang membayar gaji bulanannya.

Kini, Daeng Nur, beranjak sembuh, tapi tentu saja dia tak akan jera memperjuangkan nasib kawan dan saudara-saudaranya. Prinsip hidupnya, seperti banyak dipegang oleh pedagang pasar Terong, MANNA BORI PARA BELLA, KAPA’ MAI PARA BAJI, ASSING KAMMA TONJI BALLA’ SE’RE NI RUWAI, DEKKENG!

“walaupun kampung kita sama jauhnya, tapi hati kita sama baiknya, ibarat satu rumah kita hidup bersama, wahai saudaraku!

Jumat, 08 Januari 2010

SEJARAH PASAR TERONG

Oleh Siswandi (Peneliti AcSI)

“Sebenarnya pemerintah sudah mau menolong, tapi mereka [seolah] memindahkan ikan ke atas daratan”

(Daeng Jama’, pedagang asam pasar Terong)

Walaupun bukan pasar tertua di Makassar, pasar Terong adalah salah satu pasar yang sangat dikenal di jazirah Sulawesi. Sebuah pasar yang kini bisa disebut tak terurus dengan baik walaupun tentu saja pemerintah kota dan khususnya warga Makassar dan sekitarnya telah memperoleh banyak manfaat dari pasar yang kerap dianggap “tradisional” ini. Sebuah istilah yang terus menerus digulirkan oleh bukan saja Negara tapi juga berbagai pihak yang ingin mencari untung melalui proyek modernisasi atau revitalisasi pasar. Sebuah istilah yang dipakai untuk menjelek-jelekkan bentuk fisik pasar tanpa melihat dinamika di dalamnya. Dinamika antara pembeli-pedagang, pedagang-pengurus pasar, pedagang-polisi, pedagang-pemerintah, pengembang-preman, pemerintah-preman, preman-pembeli, pedagang pengumpul-ponggawa pasar, ponggawa-pedagang pengecer, pedagang-bank, pedagang-rentenir atau ‘appa’bunga doi’ dan sebagainya. Belum lagi berbagai pungutan liar, intimidasi bagi pedagang oleh pemangku kuasa, penggusuran, penipuan, sampah, tangis hingga duka.

Pasar tradisional yang berada di kota Makassar dan terletak di jalan Terong, kelurahan Wajo Baru, kecamatan Bontoala. Pasar ini terkenal sebagai pemasok sembilan bahan kebutuhan pokok, seperti sayur-mayur, aneka jenis ikan, telur, buah-buahan, dll yang berasal dari berbagai daerah di Sulawesi-Selatan. Pasar ini juga setidaknya menyuplai kebutuhan di daerah lain hingga 18 provinsi di pulau Sulawesi khususnya dan Indonesia Timur dan sebagian Barat khususnya. Untuk menyebut beberapa daerah itu diantaranya Kendari, Palu, Gorontalo, Menado, Maluku, Kalimantan khususnya bagian Timur, pelosok Papua dari Sorong hingga Mereuke, sebagian Bali, NTT dan NTB bahkan beberapa bagian di Jawa Timur, Jawa Barat, Banten hingga DKI Jakarta. Bahkan pasar Terong juga mampu menyuplai sebuah Negara termuda, yakni Timor Leste.
Pedagang-pedagang pasar Terong

Di pasar Terong, ada berbagai ragam pedagang, sebut saja Palapara’ atau penjual yang sekedar menggelar tikar atau bakul sebagai area dan media dagangan mereka. Jenis pedagang inilah yang paling awal mendiami Terong sejak berdirinya di tahun 1960an bersama palembara’ atau jenis pedagang sudah sulit ditemui di Makassar dimana mereka menjinjing (pikulan) dagangan mereka (lihat gambar).

Dikenal pula di Terong ini Pagandeng atau pedagang yang menggunakan sepeda dengan dua keranjang besar di bagian belakang yang terbuat dari anyaman bambu dan ikatan rotan. Pedagang jenis ini mulai marak di pasar Terong di tahun 1970-an atau era walikota Daeng Patompo. Ketika pasar dibangun untuk pertama kalinya di tahun 1970 dan kendaraan bermotor mulai marak, pagandeng dengan sepeda juga satu persatu beralih ke motor. Hamper serupa dengan mereka, terdapat juga pedagang yang menggunakan media bergerak seperti Pakalontong atau pedagang yang menggunakan aneka kendaraan seperti sepeda, becak, gerobak, dan sepeda motor.
Banyak juga pedagang yang menggunakan meja sebagai media jualan. Disini mereka dikenal dengan sebutan pamejang. Meja yang digunakan terbuat dari papan atau anyaman bambu beralas terpal plastik. Berbeda dengan pedagang yang berada di dalam gedung dimana meja yang mereka gunakan adalah permanen dengan dilapisi keramik atau kerap disebut lods atau los.

Semua jenis pedagang tersebut di atas umumnya menempati lokasi di luar bangunan pasar (dibangun pada tahun 1996/7 masa walikota Malik B. Masri). Bagi pedagang di dalam gedung yang umumnya pedagang bermodal menegah dan besar yang tentu mampu mengakses harga kios dan lods yang mahal. Pedagang ini umumnya adalah penjual barang campuran seperti beras, minyak, lombok dan kecap kemasan, telur, susu, dll. Mereka juga kerap disebut sebagai pakios atau palos.
Gedung pasar ini terdiri dari tiga lantai dimana lantai satu juga ditempati barang campuran, kosmetik dan pakaian. Lantai dua ditempati oleh penjual perabot rumah tangga dan barang pecah belah seperti piring, gelas, panci, embe, dll dan penjual pakaian bekas alias cakar. Sedangkan Lantai tiga kini sudah kosong melompong (baca minitour gedung pasar Terong).

Selain dihuni oleh para pedagang, kawasan pasar Terong (gedung pasar dan sekitarnya) juga menjadi tempat mengais rezeki bagi penyedia jasa. Sebutlah para Papisi’ yakni sekelompok perempuan (tua maupun muda) yang melepaskan tangkai lombok/cabai, memotong akar bawang dan mengirisnya, menguliti dan mengiris ubi jalar. Ada juga parappung atau orang yang bekerja sejak subuh hari dengan membantu proses bongkar muat. Biasanya orang-orang ini juga memunguti barang-barang yang jatuh atau sudah dibuang tapi masih baik. Contohnya adalah kol, sawi, tomat, dan beras. Kol atau sawi yang sudah hitam lapis luarnya dia bersihkan atau kupas dan dijual kembali.
Terong dari masa ke masa

Adanya perubahan pasar yang dilakukan olah pihak pengusaha (dalam hal ini PT. Makassar Putra Perkasa) dan pemerintah kota (melalui Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya) tanpa melibatkan para pedagang telah membuat para pedagang kecil semakin terpinggirkan. Pasar Terong sendiri telah mengalami perombakan dari masa ke masa yang sudah dimulai sejak masa orde lama, orde baru hingga sekarang.

Awal 1960-an, “pasar” pertama (yang sekedar merupakan area kecil bertemunya pedagang dan pembeli) berada di ujung jalan Terong dekat jalan Bawakaraeng dan hanya sampai pada jalan Bayam. Beberapa tahun kemudian seiring dengan bertambahnya pedagang kemudian merembet sampai ke jalan Mentimun dan jalan Kangkung.

Saat itu, bila musim hujan, air tergenang di jalanan hingga buah mangga dapat dilihat mengapung di atas permukaan air. Rumah warga yang berada di sekitar jalan tersebut atau dikenal dengan sebutan Kampung Wajo Baru tiap tahun harus berlangganan dengan banjir. Saat itu lokasi tersebut sudah ditempati oleh berbagai macam pedagang seperti Palapara’ yang menjual sayur dan buah, penjual beras yang menggunakan bale-bale, serta pagandeng yang membawa sayuran dan buah berada di pinggir jalan.

Menjelang tahun 1965, saat jabatan walikota dipegang oleh Mayor M. Daeng Patompo, sudah mulai bergulir ide pembangunan pasar (resmi). Saat itu, pasar Terong belum begitu ramai. Pedagang dan warga sekitar menempati pemukinan yang masih berupa rawa-rawa sehingga digelari Tompobalang (kini, Wajo Baru karena merupakan pindahan dari Wajo Lama oleh pemerintahan Jepang).

Tak lama kemudian, rumah warga yang berada di jalan Kangkung habis terbakar. Warga sekitar lalu melakukan penimbunan lokasi yang berawa tersebut dengan sampah yang ditutupi dengan tanah dan pasir. Pedagang kemudian banyak menempati lokasi itu dengan membangun pasar darurat yang hanya bertiang bambu dan beratap nipa. Inilah bentuk bangunan pasar Terong sekitar tahun 1967 sampai tahun 1968, bertiang bambu dan beratap nipa.

Sejak saat itu, pemerintah mulai mencanangkan pembangunan pasar resmi. Sisa-sisa rumah yang tidak terbakar di jalan Terong dan jalan Kubis dipindahkan. Pasar darurat yang dibangun warga pun terpaksa dibongkar untuk rencana besar itu. Membangun pasar permanen. Warga (baik korban kebakaran maupun yang tidak) direlokasi ke beberapa wilayah seperti di belakang Kebun Binatang (dulu), jalan Rappokalling, jalan Rappojawa, jalan Korban 40.000, Cambayya, dan belakang Galangan Kapal (Capoa).

Tahun 1970, pasar pertama oleh pemerintah dibangun. Bentuk pasar masih berupa front toko dan lods-lods. Front toko berbentuk huruf "U" yang di tengahnya terdapat satu lods induk dan beberapa lods kecil yang mengelilinginya dengan bentuk berpetak memanjang, ada yang ukuran panjangnya 30 meter ada juga yang 20 meter.

Tahun 1971, setelah diresmikan oleh Walikota Patompo Pasar mulai ramai, pembeli yang datang ke pasar Terong ada puluhan orang karena keadaaan pasar sudah permanen, pembeli terus meningkat dari tahun ke tahun, 1980 sampai 1990-an.

Pada saat pak Mustari (1990-an) menjabat sebagai kepala pasar para pedagang kaki lima dilarang menjual di sekitar wilayah pasar, dengan dibantu oleh seorang tentara yang bernama Pak Sampe bersama dengan anggotanya yang juga tentara bertindak sebagai kepala keamanan di pasar Terong. Tentara-tentara itu memiliki empat pos jaga di setiap sudut, dua di masing-masing ujung jalan Terong dan dua di masing masing ujung jalan Sawi. Selain itu mereka juga melakukan pengawasan dengan berkeliling, berpatroli mengawasi pedagang yang menjual di luar pasar. Bagi pedagang yang berjualan bukan di dalam front toko dan lods maka tentara-tentara akan mengusir mereka dengan kekerasan seperti ditendang bahkan dipukul dengan kayu.

Pada masa yang penuh intimidasi itu, banyak pedagang kaki lima memilih pindah atau sengaja dipindahkan ke Panampu dan Pabaeng-baeng. Selama satu bulan berjualan di dua lokasi tersebut, pedagang merugi dan akhirnya memilih pindah ke pasar Kalimbu yang berdekatan dengan pasar Terong. Pedagang merasa bahwa pasar Terong belum aman disebabkan perpanjangan kontrak tentara yang bertindak sebagai pengamanan. Setelah merasa aman, di sekitar pasar sudah mulai berdatangan pedagang-pedagang baru dan pedagang lama dari pasar Kalimbu juga sudah mulai kembali ke pasar Terong.

Pada 1986, di depan front toko sebelah Timur sepanjang jalan Sawi ditempati oleh para pedagang sayur dan buah seperti semangka, jeruk, alpokat, rambutan, kedondong dan mangga. Kebanyakan dari mereka menggunakan meja (pamejang) sebagai tempat jualan walaupun sebagian berupa palapara. Di jalan kubis sebelah Selatan pasar juga ditempati oleh kebanyakan pamejang dan sebagian palapara, mereka menjual sayur, buah dan rempah. Di depan front toko itu pedagang menyewa tempat dari pemilik front toko tetapi ada juga yang hanya sekedar menumpang.

Di awal tahun 1990an, ide ‘modernisasi’ pasar ‘tradisional’ mulai marak di Indonesia, pun di Makassar. Dalam kurun waktu tersebut (1980an) sampai pada pembongkaran front toko dan los menjadi gedung pasar berlantai tiga (empat dengan basement) di tahun 1995/6, di sekeliling pasar tersebut, mulai waktu subuh sampai jam sebelas siang di tempati oleh pagandeng mulai dari jalan Sawi, Kubis dan Terong. Bangunan pasar berupa front toko dan lods-lods tersebut dibongkar pada tahun 1995 lalu dibangun Gedung pasar. Pedagang kemudian dipindahkan ke jalan Labu, mereka membangun kios-kios sederhana sepanjang jalan tersebut. Palapara’, Pamejang dan Pagandeng (masih bersepada) ramai menempati jalan Mentimun keliling sampai jalan Kangkung.

Setelah Gedung Pasar difungsikan pada tahun 1997, kios-kios di jalan Labu dibongkar dan pedagang dipindahkan untuk mengisi gedung tersebut. Namun, banyak bangunan yang tidak terpakai terutama lods-lods untuk para pedagang yang tidak bisa mereka pakai karena pembangunan pasar terlalu tinggi, mereka tidak mendapatkan tempat pada posisi bawah melainkan pada lantai tiga (terutama Pedagang sayur dan buah). Mereka tidak mau menempati lokasi tersebut karena menurutnya tidak ada pembeli yang mau naik. Pedagang yang tidak memiliki modal juga tidak sanggup membayar harga setiap kios yang disediakan.

Akibatnya, para pedagang seperti pameja, palapara dan pagandeng memilih menjual di luar gedung, menempati trotoar jalanan yang ada di di pasar Terong seperti jalan Terong, jalan Mentimun, dan jalan Bayam. Sebagian pedagang juga tetap tinggal di jalan Labu dan jalan Kubis dan kangkung sampai sekarang.
Sejak berdirinya gedung pasar Terong tahun 1996, pedagang-pedagang kecil itu resah dan gelisah. Berbagai aksi penggusuran terjadi dan mereka terus menerus diperlakukan tidak adil. Perlawanan dari pedagang sebenarnya juga terus berlangsung. Pada masa-masa dimana peran tentara begitu dominan, perlawanan pedagang tidaklah frontal. Mereka melawan dengan diam dan mencari-cari celah yang lebih aman dalam berjualan. Ketika kran demokrasi terbuka dan Soeharto tak lagi berkuasa, perlawanan pedagang sudah mulai frontal. Hingga sekarang ini sudah beberapa kali terjadi demo besar ke badan legislative, diantaranya tahun 2005 dan 2007. Melalui organisasi yang dibentuk yakni persaudaraan pasar Terong (SADAR) mereka berani melakukan perlawanan atas ketidakadilan.

Di tahun 2008/2009 SADAR bekerjasama dengan Active Society Institute melalui divisi mediasi center yang dikomandoi oleh Zainal Siko, gerakan perlawanan pedagang pasar terus membesar. Kini, perlawanan mereka kian sengit dan siap bertarung dalam ranah hukum. Mereka berani melakukan class action dan mengadukan pihak-pihak yang merugikan mereka seperti pemerintah kota dan pengembang.


TOUR de PASAR [pasar lokal di Makassar]

Hari masih pagi benar. Cepat-cepat aku bereskan semua pekerjaan rumah yang biasanya kukerjakan di sepanjang hari Minggu bersama keluarga. Hari ini kawan-kawan sekantor akan melakukan sebuah tur kecil. Kami menyebutnya ‘Tour de Pasar’. Sebuah tur yang pasti tidak akan diminati oleh banyak orang kota di Makassar, pun oleh orang-orang yang merasa diri sebagai pengurus pasar di pemerintahan sana yang seharusnya lebih banyak datang dan melihat bagaimana kondisi pasar lokal kita sekarang ini. Hari ini, 28 juni 2009, 5 pasar lokal atau ‘tradisional’ dari kurang lebih 50 pasar lokal di kota Makassar akan kami kunjungi.

kelimanya adalah pasar Butung, pasar Cidu, pasar Sentral yang kini bernama Makassar Mall, pasar Kokolojia, dan pasar Pa’baeng-baeng.

Ide untuk melaksanakan tur ini sudah lama kami impikan, khususnya sejak kami sudah cukup memahami bagaimana pasar Terong mengalami nasib ‘buruk’ akibat perlakuan yang salah dari pemerintah kota, perusahaan daerah Pasar Makassar Raya, dan pengembang (developer) PT. Makassar Putra Perkasa. Pasar yang seharusnya dipertahankan sebagai induk dari seluruh pasar lokal di Makassar ini, kini ‘dibiarkan’ begitu saja atau katakanlah ‘diurus tapi tak terurus, dibiarkan tapi tetap ditagih uang setiap harinya oleh aneka petugas di sana kepada para pedagang yang peruntukannya entah untuk apa, pedagang tak tahu.

Di kantor AcSI, sudah belasan hari kami membahas Rancangan Peraturan Daerah alternatif Kota Makassar tentang perlindungan dan pemberdayaan pasar lokal dan penataan pusat perbelanjaan dan toko moderen. Kami juga sedang mempelajari sebuah pola tentang bagaimana pemerintah kota mengatur pasar-pasar lokal yang banyak menyerap tenaga kerja dan menghidupi banyak anggota rumah tangga ini. Khususnya menjawab pertanyaan demi pertanyaan akan substansi pengaturan pasar dari setiap bab, bagian, pasal serta ayat dari pasal-pasal Ranperda ini.

Membaca rancangan perda yang disusun oleh anggota DPRD kota Makassar periode 2004-2009 ini begitu ‘menggemaskan’. Ada begitu banyak kekurangan di dalam pasal-pasal yang mengatur hubungan kedua macam pasar ini, pasar ‘tradisional’ dengan pasar ‘moderen’. Sebuah kekurangan yang menurut kami cukup fatal dan tidak menggambarkan sebuah perlindungan bagi pasar lokal yang semakin hari semakin dibiarkan ‘sekarat’.

Sebutlah konsep pasar ‘tradisional’ yang digunakan itu. Sebuah konsep yang sangat berbau aliran ‘modernisasi’ di mana yang tradisional dianggap terbelakang, kumuh, tak mampu bersaing, dan tentu saja tak cocok dengan perkembangan kota yang sedang menata diri menjadi metropolitan. Penggunaan kata ini sendiri sudah sebentuk ketidakberpihakan dan jauh dari realitas pasar-pasar ini. Akibatnya penanganannya, karena aliran ini yang deteministik, pasar kemudian mengalami revitalisasi guna mengejar ‘cap’ modernisme semacam gedung bertingkat, berkeramik, dan dilengkapi dengan fasilitas moderen lainnya seperti elevator, lift, listrik, AC, dan lain sebagainya yang justru menambah kerumitan pemeliharaan dan biaya operasional dan membebankan pedagang.

Untuk itu, kami menawarkan sebuah konsep baru, yakni menyebut pasar kita sebagai pasar lokal, untuk membedakannya dari pusat perbelanjaan dan toko moderen yang sedikit banyaknya berasal dari luar kota Makassar, seperti Carrefour, Diamond atau Giant, Depertment Store, Hypermarket, Supermarket, Mal, dan sebagainya. Sebuah konsep yang menawarkan aspek lokalitas dengan mempertimbangkan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya pedagang dan konsumen kota, khususnya pelanggan dari kelas menengah ke bawah.

Bila merujuk pada pasar lokal kita, maka sesuai dengan aspek kesejarahannya, pasar kita sudah sejak dulu ramah terhadap pedagang kecil dan mikro. Banyak pedagang datang dari berbagai daerah dengan mudahnya untuk menjajakan barang-barang prooduksinya atau apapun dari desa mereka. Untuk itu, model hamparan adalah ciri berikutnya yang menjamin efektifitas gerak pedagang dan pembeli. Tak perlu susah payah membawa barang ke atas karena terdapat aneka transportasi barang di jalan yang disediakan oleh Daeng becak maupun penyedia jasa lainnya. Bertingkat, berkeramik, bertangga, benar-benar mematikan usaha jasa yang disediakan secara mandiri oleh warga yang mengandalkan tenaga fisik untuk bekerja.

Selain itu, kami juga menemukan bahwa corak berpikir dengan menggunakan ‘logika pertumbuhan’ turut merusak muatan rancangan perda ini. Dalam kepala anggota DPRD yang menyusun, ada pemikiran bahwa pasar lokal harus dikelola dengan baik agar pedagang di dalamnya dapat tumbuh dan bersaing dengan pelaku usaha pusat perbelanjaan dan toko moderen. Padahal, para pedagang di pasar-pasar lokal pertama-tama yang mereka inginkan adalah ‘bertahan’ agar kebutuhan hidup anggota keluarga dapat terpenuhi.

Persoalan tumbuh tidaknya usaha adalah urusan kesekian. Tetap berjualan saja dengan pendapatan yang memadai itu sudah membuat hidup pedagang ini nyaman. Jadi, ketimbang menggunakan nalar ‘ekonomi pertumbuhan’ para pedagang kecil dan mikro lebih mengandalkan logika ‘ekonomi kebertahanan’. Persis logika yang digunakan oleh banyak ibu rumah tangga di desa-desa yang membuka aneka kios di bawah kolong rumahnya demi bertahan secara ekonomi kalau-kalau pekerjaan suami atau anak laki-laki mereka mengalami kelesuan atau tiba-tiba dipecat dari tempat kerjanya atau digusru oleh satpol PP misalnya.

Anggota Dewan yang terhormat ini juga ‘menyerah’ pada logika persaingan usaha dalam pemikiran ekonomi neo-klasik atau neo-liberalis, bahwa pelaku pasar akan bersaing satu sama lain dalam sebuah kompetisi sempurna (perfect competition), sehingga mereka hendak memaksakan agar pasar lokal dan pelaku usaha di dalamnya larut dalam logika ini dan dapat bersaing dalam era pasar bebas. Persoalannya adalah, tidak mungkin terjadi sebuah persaingan sempurna di tengah ketidakimbangan modal usaha antara pengusaha ritel moderen yang bermodal kuat dengan pelaku usaha pasar lokal yang tercerai berai dalam aneka keterbatasan mereka seperti rendahnya modal dan sulitnya akses perbankan, lemahnya keterampilan usaha, lokasi berjualan yang tidak nyaman bagi pedagang dan pembeli, dan sebagainya. Persaingan sehat yang didambakan semakin sulit terjadi di tengah carut-marutnya pelayanan pemerintah dalam persoalan perizinan usaha dan lain-lain yang memungkinkan pihak berduit bermain ‘di belakang meja’.

Jadi dalam ketidakjelian anggota dewan ini membuat kami berusaha ‘meluruskan’ pemikiran tentang penataan pasar yang adil dan mempertegas ‘keberpihakan’ kepada pasar lokal dan pelaku di dalamnya. Penataan pasar harus dilakukan secara adil dan untuk itu pemerintah mutlak memberi perhatian yang lebih kepada pasar lokal dari aspek sosial, ekonomi, budaya, dan terlebih politik.

Jadi memperhadapkan dua entitas pasar ini untuk berhadap-hadapan adalah tidak realistis. Sebagai contoh, persoalan harga kebutuhan bahan pokok. Pusat perbelanjaan dan toko moderen semacam Carrefour atau Diamond mampu menjual bawang putih dan lombok merah dengan harga di bawah harga pasar lokal. Bawang putih misalnya, dijual di pasar moderen Rp. 320 perons atau Rp. 3.200 perkilogram, sementara harga barang sejenis di hari yang sama di pasar Terong bisa mencapai 6000 – 7000 rupiah perkilogram. Belum lagi harga barang lainnya seperti tomat. Dari cerita seorang pedagang lombok di pasar Terong yang bernama H. Thamrin, ia menceritakan bahwa harga tomat di Carrefour bisa jauh lebih murah dibandingkan di pasar Terong.

Ada banyak faktor yang memungkinkan harga dengan mudahnya dipermainkan oleh pengusaha ritel moderen. Pertama, modal mereka sangat besar. Kedua, aneka barang yang mereka jual sangat beragam sehingga barang satu bisa menutupi barang lain yang sengaja dijatuhkan harganya. Ketiga, pelaku usaha ritel besar mampu menembus petani di desa dengan membeli hasil produksi mereka melalui berbagai cara, seperti kemudanan modal selama masa tanam dan perawatan, bebas biaya transportasi, dan lain-lain. Selain itu, untuk memanjakan konsumen agar tetap berkunjung ke pasar moderen, pengusaha ini menjamin pasar mereka tetap bersih, sejuk, dan penuh dengan media pemanjaan konsumen lainnya sementara pasar lokal terus menerus dibiarkan kumuh dan jorok oleh pihak pengelolanya. Bahkan, media lokal entah mengapa lebih sering memberitakan aktifitas pasar moderen ketimbang pasar lokal.

Lihat saja rubrik ‘jappa-jappa ri Mall’ dari koran lokal kota ini dan berbagai iklan serta penawaran lainnya dari aneka pusat perbelanjaan dan toko moderen. Sementara saat memberitakan pasar lokal, sorotannya merujuk pada sampah yang berserakan, pedagang yang menempati badan jalan dengan penyebutan ‘liar’, hingga demo-demo pedagang yang merasa dipinggirkan oleh pemerintah. Itupun melalui pemberitaan yang jauh dari memadai sehingga bias, samar dan informasinya tidak utuh, apakah hendak membela pedagang kecil dan pasar lokal atau justru semakin menjerumuskan dengan pencitraan negatif yang tanpa henti.

karena kemumetan itulah, kami lalu mewujudkan ‘mimpi’ untuk melakukan Tur Pasar ini.

*****

Karena segala keterbatasan, kami yakin tidak dapat mengunjungi seluruh pasar lokal hari itu, walaupun hari Minggu. Disamping kami akan mewawancarai pedagang-pedagang di setiap pasar kami juga berencana melakukan minitour dengan menelusuri setiap lekuk bangunan pasar di mana pedagang kecil dan mikro berjualan.

Pilihan 5 pasar inipun tidaklah melalui sebuah pemikiran yang mendalam, melainkan sekedar mempertimbangkan satu atau dua hal, yakni sebagai pasar lokal yang sudah cukup tua seperti pasar Butung, Cidu, dan Kokolojia, telah mengalami revitalisasi seperti pasar Sentral atau Makassar Mall termasuk pasar Butung yang kini menjadi pusat grosir, dan yang sedang direncanakan akan direvitalisasi, pasar Pa’baeng-baeng.

Pasar Butung dan Dominasi saudagar Wajo

Kami tiba tepat pukul 08.00 pagi di pasar tua ini. Dalam sebuah foto tahun 1917, bangunan pasar Boetoeng terlihat rapi dengan model hamparan. Bila merujuk pada sejarah perkembangan kota, Ini tentulah sebuah upaya penataan pedagang, khususnya pagandeng dan palembara oleh pemerintah kolonial untuk memindahkan aktifitas pedagang di jalan-jalan utama kota. Di era itu, banyak kota di Indonesia sedang berkembang, selain Batavia, Malang, dan Surabaya, Makassar juga sedang menuju kehidupan kosmopolitnya.

Seorang perencana kota kolonial Ir. Thomas Karsten banyak menjelaskan bagaimana sebuah kota di tata dari ketidakteraturannya (unruly), termasuk para pedagang yang mengisi badan-badan jalan (street vendors). Dalam ‘Explanatory Memorandum in Wertheim 1958’, diceritakan bahwa:

“… that instead of going to the pasar, the small-scale trader, who is usually Native, tries to find his costumers in the street, either keeping on the move most of the time or else, if he can, finding a more or less fixed spot, often at or nerby an intersection… the objection are the sometimes-gross pollution of the street, the unsigthliness… the western authorities, particularly, often findi it intolerable that this typical, and unusually rather unpretentious, forms of Native economic live manifest themsleves in “European” sections. Indeed the disorderliness usually accompanying such economic forms is out of place, and hence is a nuisance objectively as well as subjectively… the warongs (food stalls) are disfiguring the urban scene with an unsightly structure generally having an extensive appendage of benches, awnings, screens, and cooking utensils. Properly such warongs should be located only at well-chosen and well-equipped points… such things need to be given full consideration in drafting the street plans and neighborhood plans” (di kutip dari Abidin Kusno dalam ‘The significance of appearance in the zaman normal, 1927-1942 yang mengutip dari ‘Explanatory Memorandum in Wertheim 1958’: 37-38)

Dari catatan itu menunjukkan alasan-alasan maraknya pembangunan pasar kota pada tahun-tahun yang dikenal sebagai ‘zaman normal’ tahun 1920an-1930an, guna mengendalikan ketidakteraturan pedagang jalanan (street vendors) atau kini lazim disebut pedagang kaki lima yang tak menetap.

Sebagaimana ditulis oleh Dias Pradadimara, dalam 2 artikel pendeknya tentang sejarah kota, di tahun-tahun ‘keemasan’ ini, kota Makassar telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang memanjakan penduduk khususnya para pendatang yang berkunjung atau menetap untuk keperluan bisnis ataupun berlibur. Dengan merujuk pada sebuah buku petunjuk turis masa itu, Pradadimara memaparkan bahwa sudah terdapat beberapa perusahaan dan konsulat asing yang bekerja di kota Makassar karena lengkapnya fasilitas di kota ini. Bahkan, dari aspek peneranganpun, kota ini disinyalir sebagai kota yang paling diterangi di Hindia Belanda dengan persediaan tenaga listrik yang disuplai dari Makassar dan Sungguminsa (Dias Pradadimara, 2007).

Jadi, walau masih membutuhkan penelusuran sejarah lebih jauh, pasar lokal seperti pasar Butung di awal berdirinya adalah diperuntukkan bagi inlander atau pribumi dengan pengaturan yang jelas dan tegas tentang pengaturan dan pungutan pasar (sussung pasara) seperti yang tertuang dalam ‘Surat edaran tertanggal 1 September 1917 no. 15’ tertanda W. Fryling.

Pasar Butung terletak di kampung Butung, dekat pelabuhan kota Makassar atau berada di antara dua jalan besar, yakni pertemuan jalan Tentara Pelajar dan jalan Nusantara, ujung Utara jalan Sulawesi (dulu bernama Tempel Straat dan Paseer Straat), jalan Kalimantan, dan jalan Butung. Di sekelilingnya kini dipenuhi oleh bangunan rumah toko bertingkat dua, tiga dan empat yang semua jendelanya dilindungi tralis yang sangat rapat yang merupakan sisa traumatik dua peristiwa ‘pengganyangan’ etnis Tionghoa, ‘Toko La’ tahun 1978 dan ‘pembunuhan anak seorang dosen IAIN Sultan Alauddin’ 1997’ yang menjadi pemicu kerusuhan rasial.

Pasar ini sudah jauh berubah sejak dibangunnya pertama kali 92 tahun lalu. Menurut salah seorang informan yang kami temui, tahun 1960an di mana dia sering keluar masuk pasar ini menceritakan bahwa pasar ini dulunya bukan pusat grosir. Seperti layaknya pasar-pasar ‘tradisional’ lainnya, pasar Butung adalah pasar rakyat bagi pedagang kecil dan mikro.

Dari dua gapura yang ada, menunjukkan bahwa pasar ini pernah mengalami revitalisasi, yakni tahun 1999 dan 2002. Belum ada keterangan lebih lanjut secara detail bagaimana proses perubahan pasar sejak awal hingga kini.

Kami mengelili bangunan pasar dan mengamati bangunan di sekitarnya. Beberapa bangunan tua masih berdiri namun sudah lusuh bahkan satu di antaranya baru saja di dirubuhkan. Bangunan itu berada di jalan Sulawesi dan tepat berada di sisi kiri lorong menuju kampung Butung tempat mesjid Mubarak berada. Ia sudah terhimpit dan sepi di antara 2 rumah toko berlantai 4. Sisa bangunan tua lainnya yang jumlahnya tak lebih dari sepuluh kondisinya terlantar. Hanya beberapa yang tampaknya masih baik yakni bagunan yang kini menjadi toko/bengkel Matahari Motor dan Mandiri Motor. Itupun bila tampak depan bukan lagi berwujud jendela-jendela besar, melainkan sekedar papan reklame yang menutupi sepertiga bangunan rumah.

Di hook jalan raya ini, masih nampak ‘wajah’ bangunan kedai kopi yang peraciknya beretnis Tionghoa. Makassar tempo doeloe memang terkenal dengan para peracik kopi etnis Tionghoanya. Bahkan, sebuah photo yang menunjukkan bahwa pernah ada perkumpulan para peracik kopi ini. sayangnya, karena masih terlalu pagi, kedai ini belum terbuka, padahal ingin sekali menghirup kopi sebelum masuk ke dalam bangunan pasar Butung ini.

Di pintu Selatan pasar Butung, atau tepat disamping mesjid Muarak ada lorong masuk ke kampung ini. anak-anak kecil berlarian di antara orang tua mereka yang sibuk dengan urusan rumah tangga. Saya melirik beberapa bangunan yang tidak lagi menunjukkan sisa-sisa sebuah kampung masa lalu, sebuah kampung dari pusat kota kolonial. Hanya ada satu bangunan yang sudah runtuh dan dibiarkan bersemak dan temboknya berlumut. Nampak sekali bahwa bangunan ini adalah juga sisa beton dari sebuah rumah besar peninggalan Belanda. Aku membayangkan bagaimana orang-orang Makassar waktu itu tinggal di sini di dekat pasar yang dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda. Senangkah atau meranakah?

Akhirnya kami putuskan masuk ke dalam pasar Butung. Pasar ini sudah cukup tua dan telah melewati banyak masa-masa politik. Sebut saja pada masa Belanda 1917-1942, lalu masa Jepang 1942-1945, datangnya kembali Belanda yang membonceng NICA, lalu masa Negara Indonesia Timur di mana Makassar menjadi ibukota negara ini, masa ‘gerombolan’ Qahhar Mudzakkar di masa orde lama, masa Orde Baru atau masa Daeng Patompo memerintah kota Makassar dan seterusnya di masa ketika modernisme merajai pemikiran orang banyak dan ketika yang ‘tradisional’ dianggap masa lalu yang harus dititnggalkan.

Memasuki pagar pasar, sudah terdengar puluhan genset menderu-deru. Melihatnya saja sudah bisa dibayangkan apa yang terjadi di dalam. Sambil menduga-duga kami terus melangkah. Menaiki anak tangga Selatan ini, kami melihat gerai BNI (Bank Negara Indonesia) sedang menata berbagai keperluan pemasaran. Demikian pula banyak pedagang lalu lalang dan banyak di antaranya sedang menggantung pakaian di banyak paku di plafon kiosnya.

Kami memutuskan ke lantai dasar dulu. Ada dua sisi tangga, kiri dan kanan. Kami menuruni anak tangga di sisi kanan. Di bawah sini kios terlihat lebih padat dan hampir seluruh kios terbuka dan ramai dengan aktifitas menata pakaian. Pasar ini memang sudah dikenal sebagai pusat grosir pakaian. Tampak kios-kios di sini memilki nama, layaknya di pusat perbelanjaan moderen. Sebut saja beberapa di antaranya adalah ‘stand Firman’, ‘stand Hairul Akbar’, ‘stand Suka Maju’, ‘stand An Nur’, ‘stand Hj Anti’ stand Hermawan’, ‘stand H.A. Kadir’, ‘Ading collection’ dan seterusnya. Beberapa penunjuk juga menjelaskan jenis jualan seperti ‘aneka sarung’, ‘Moslem Style’, ‘Baju sekolah’, ‘baju anak-anak’, dan sebagainya.

Aku tidak bisa membayangkan bahwa sebelumnya di atas tanah ini yang ada adalah aneka barang dagangan dan usaha, seperti sayur mayur, ikan dan daging, rempah-rempah, warung nasi, dan lain-lain dan pedagang-pedagang kecil yang berpeluh namun penuh keceriaan menikmati suasana pasar tanpa beton yang saling membatasi. Dari wujudnya, jelas, pasar ini tidak lagi memiliki karakter sebagai pasar rakyat atau pasar lokal.

Di lantai satu ada dua buah elevator menuju lantai dua, namun keduanya sudah tak berfungsi dan sudah berkarat di sana sini. Dibandingkan dengan elevator pasar Terong yang berlantai empat itu, elevator di pasar Butung masih lebih baik, karena di pasar Terong, bukan hanya tangga itu sudah penuh karat dan tanah, namun mesinnyapun telah hilang dicuri orang.

Aku menyempatkan bertanya pada seorang pekerja di sana, mengapa di luar ada begitu banyak genset. Menurut laki-laki yang sedang menata ‘stand H.A. Kadir’ itu genset mulai digunakan sejak pasar ini tak sanggup lagi memenuhi daya listrik bagi seluruh pedagang. Kini dibatasi hanya boleh maksimal 80 watt. Bila ada yang menggunakan lebih, maka listrik akan mati secara keseluruhan. Dampak dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pengelola pasar ini sangat terasa bagi pedagang lantai dasar dan satu. Di lantai dasar, yang ramai pengunjung dan tak memiliki ventilasi udara tentu akan panas bila tidak disediakan kipas angin, dan itulah fungsi genset. Mereka butuh tenaga tambahan untuk membuat pelanggan merasa nyaman saat berbelanja.

Naik ke lantai 2. Hanya terlihat beberapa pekerja membereskan baju-baju dan pernak-pernik pakaian lainnya. Mereka hanyalah buruh, bukan pemiliknya. Pemiliknya akan datang beberapa jam lagi setelah semuanya beres. Tak semua kios buka. Aku bertanya lagi, mengapa di hari Minggu ini pedagang terlambat buka kios mereka. Rupanya memang ada hanya sedikit pedagang berdagang di lantai 2 ini. banyak kios tersedia, namun pembeli sudah demikian sepinya. Biasanya mereka hanya datang pada hari menjelang lebaran dan natal. Selebihnya mereka membiarkan saja kios ini tertutup.

Di lantai 2 ini ada lagi elevator menuju lantai 3 dan demikian terlihat dari bawah elevator menuju lantai 4. Namun sayang, kami tidak bisa naik karena pintu kaca di atas sana tertutup. Iseng aku bertanya pada seorang perempuan yang sedang menggantung pakaian di kiosnya, “Penjual apa saja di atas.” Dengan penuh canda dia menjawab, “di atas Cuma ada sundel bolong.” Kami terpingkal-pingkal dibuatnya.

Menurut Enal, salah satu rekan kami yang turut dalam tur ini, selain Aku, Habibie, Gile, dan Randi. Saudagar Wajo adalah ‘penguasa’ di area ini. Mereka mendominasi usaha di sini dengan cara saling menjaga bisnis sesama etnis.