Kamis, 07 Januari 2010

Dunia Preman di Pasar Terong

Sebuah hari di bulan April 2009. Pasar Terong pagi itu ricuh. Banyak pedagang menghentikan aktifitas jual belinya. Para pembeli yang didominasi ibu rumah tangga berlari ke pinggir meja lalu masuk di sela ruang menjual para pedagang kecil. Beberapa orang berlari mengejar seorang bertubuh sedang berseragam warna hijau, tapi bukan seragam militer. Orang-orang itu mengacungkan badik yang sudah terhunus. Orang-orang berteriak. Beberapa meja hampir saja terjungkal karena ruas jalan yang begitu sempit.

Jang ko lari Turu’, ana’ sundala.” Salah seorang berteriak.

Orang yang dipanggil Turu’ ini memilih lari, menuju jalan Terong yang ramai dipenuhi “bunga-bunga liar”. Dia menabrak beberapa orang yang begitu rapat berdesakan. Orang-orang yang mengenalnya memilih tak mengubrisnya. Hanya hitungan detik dia masuk ke wilayahnya di ‘letter L’, berada di sisi Utara bangunan pasar Terong yang direvitalisasi pada tahun 1995 namun masih menyisakan banyak masalah hingga sekarang ini.

Orang-orang itu berhenti. Berpikir sejenak untuk melanjutkan pengejaran. ‘Letter L’ adalah area ‘kekuasaan’ Daeng Turu’, orang yang tadi dikejar itu. Dia dikenal ‘bos’ di area ini. Beberapa pedagang menyebutnya ‘bos preman Terong’. Sebuah istilah yang banyak dibantah sendiri oleh preman-preman lain yang bertebaran di ‘pasar lokal’ ini. Sebaliknya mereka mencibir popularitas Daeng Turu’ yang menurut mereka bersikap berani karena kedekatannya dengan direktur Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya, komisaris PT. Makassar Putra Perkasa, dan beberapa anggota kepolisian setempat.

Pasar lokal Terong demikian semerawutnya. Pedagang-pedagang kecil bertebaran dari jalan utama di jalan Gunung Bawakaraeng, sisi kiri dan kanan kanal Panampu, sepanjang jalan Terong di mana gedung pasar lokal ini berdiri sampai lorong dan gang-gang kecil di sekitarnya seperti Mentimun, Kangkung, Kubis, Sawi, dan lain-lain. Mereka sangat beragam penuh warni. Ada banyak macam pedagang kecil di pasar terong ini.

Orang-orang yang mengejar memilih berbalik, menghentikan pengejaran itu. Para pedagang bertanya-tanya ada apa gerangan mereka mengejar Daeng Turu’. Orang-orang itu tak memberi jawaban yang memuaskan. Kini mereka berada di sisi Selatan atau lebih dikenal sektor Tangga Selatan. Sebuah area yang sangat dibenci oleh Daeng Turu’ karena pedagang-pedagang kecil di sini menolak tunduk kepada dominasinya.

*****

Kalau mau mendengar berbagai kisah tentang kejantanan, keberanian, dan kekerasan maka bertanyalah seputar masalah preman di pasar Terong. Kebetulan, ada satu warung kopi yang biasa ditongkrongi oleh preman-preman pasar yang tergolong senior, yaitu warung kopinya Herman di sektor tangga Selatan. Warung kopi itu berada di salah satu rumah toko (ruko) yang belum selesai dibangun sejak tahun 2005. Karena pembayaran oleh PT. Makassar Putra Perkasa kepada pemborong yang bernama Dg Tata tidak dilakukan, maka bangunan sepanjang 50-an meter itu tak selesai dan ditinggalkan begitu saja.

Disana ada Unding dan rekan-rekannya yang berusia relatif muda dan beberapa seniornya seperti pak Amir yang di tahun 1970-an dikenal orang yang paling nakal. Beliau sudah lama melepaskan status sebagai seorang preman dan kini berjualan lombok merah tepat di warung kopi Herman. Ada juga ‘orang tua’ pasar Terong yang disegani preman berusia muda, namanya Hidayat atau cukup dikenal dengan Dayat saja. Orangnya tidak banyak bicara, cenderung dikenal pendiam. Tapi jangan sekali-kali bersikap sok jago di hadapannya kalau tidak ingin dipukul di depan orang banyak.

Mereka, di warung kopi ini, sering sekali berbicara atas nama nyali, kekuatan fisik, dan tentu saja untuk sebuah sebutan Rewa! Dalam bahasa Makassar, Rewa bermakna keberanian, ketangguhan, sikap pantang menyerah, dan tidak takut menghadapi bahaya atau resiko (Sudirman Nasir, dalam www.panyingkul.com, edisi, Jum’at, 01-02-2008). Tidak heran kalau ada saja orang-orang tertentu yang kena bogem kalau mereka bertingkah yang menjengkelkan atau bersikap rewa di mata para preman senior ini.

Di pasar Terong, sejak tahun 2000-an Turu’lah atau dengan nama lengkap Abdurrahman Daeng Turu’yang paling dikenal baik oleh pedagang maupun para pemain luar yang mencari peruntungan di pasar sembako ini. Kerjanya menebar ketakutan kepada para pedagang kecil atau yang sering dikategorikan pedagang kaki lima. Menurut pengakuannya, dia memang diberi kewenangan oleh Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya untuk mengontrol penarikan retribusi dan ‘pungutan’ lainnya serta ruang berjualan di sini. Pengelola pasar dari pihak developer juga pernah menggunakan ‘tangan’ Turu’ untuk melakukan aksi pembongkaran paksa pedagang-pedagang yang dianggap liar dan mengotori keindahan pasar yang seharusnya bisa dicapai.

Karena dia punya “jabatan” di pasar Terong maka dia bisa berbuat banyak dalam kaitannya dengan relasi sosial antar pedagang, antara pembeli dan pedagang, antara pedagang dan Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya, antara pedagang dengan pengembang (PT Makassar Putra Perkasa), dan lain sebagainya.

Dia, misalnya, mampu menentukan pedagang A boleh berjualan di tempat A, atau B, atau C dan seterusnya. Dia bisa menentukan siapa yang akan jadi juru parkir di suatu tempat di sekitar pasar Terong dan menentukan besaran setoran dari hasil pungutan parkir itu. Dia juga bisa memberi tempat menjual yang entah bagaimana caranya kepada penjual tertentu dengan bayaran sekian juta rupiah dan setoran bulanan sekian banyak. Bahkan dia bisa memukul pedagang A hari ini dan pedagang B esok harinya dengan berbagai alasan. Tapi, bisa saja Daeng Turu’ ketiban sial, seperti kejadian di atas, ketika tiba-tiba dia harus dikejar oleh sekelompok preman lain akibat kesalahan yang dia lakukan pada seorang pedagang yang kemudian menuntut balas.

Begitulah dunia preman di pasar Terong. Siapa kuat dia akan ditakuti dan tidak akan diganggu. Sialnya, ada banyak preman di pasar Terong ini, dan tidak sedikit yang tidak takut terhadap keberanian Daeng Turu’. Terutama mereka yang biasa nongkrong di warung kopi ini. Menurut mereka tingkah laku Turu’ itu menyebalkan dan dia adalah orang yang tidak patut untuk ditakuti. Kemenangan dia hanyalah karena dia licik dan dekat dengan pejabat. Kalau Turu’ buat keributan bisa dipastikan dia tidak akan dipersulit di kepolisian sana.

Konon kabarnya, jauh sebelum Turu berperan di pasar terong ini, dunia preman di pasar Terong sudah marak sejak lama. Di era tahun 1970-1990an pasar Terong adalah tempat mangkalnya para preman dari berbagai penjuru daerah di Makassar atau tepatnya sekitar Terong. Yang pertama dan utama berasal dari kampung Maccini, yakni Maccini Gusung dan Maccini Kidul yang kini dikenal sebagai Maccini Baru yang berada di sisi Selatan pasar ini. Maccini Gusung adalah sebuah kampung kota yang sangat di kenal oleh kalangan pemerintah dan media yang memberitakannya sebagai daerah ‘X’ atau daerah rawan walaupun masyarakatnya sendiri merasa tempat mereka adalah tempat ternyaman dan terdamai di kota ini.

Preman lain yang menikmati nongkrong di pasar Terong berasal dari daerah Kandea (merujuk nama jalan di sisi Utara pasar Terong, dekat dengan Mesjid Al Markaz Al Islamic). Orang-orang Kandea, sebagaimana di kampung Maccini juga dikenal sebagai daerah paling rawan di kota Makassar. Walhasil para preman yang berasal dari kampung ini juga ditakuti dan dihormati di pasar Terong. Bahkan dari tuturan beberapa pedagang pasar, seorang preman Kandea yang bernama Eka (ada juga menyebutnya Reka) pernah menyabet lengan Daeng Turu’ dengan sebuah parang hingga patah. Sebagai orang yang sama-sama bekerja di galangan kapal dengan menjual ekor ikan (?), Eka sangat jengkel dengan Turu yang diam-diam menjual ekor ikan mereka ke pihak lain dengan harga lebih murah dan bahkan tidak membagi hasil pembelian itu kepadanya. Eka yang menganggap Turu’ berbuat curang menebas lengannya hingga luka parah.

Selain itu, ada juga preman dari kampung Pucca (Tamaje’ne), kampung Rappokalling, dan kampung Bara-Barayya yang memiliki satu kelompok yang bernama ‘Antanija’ atau ‘Anak Tena Ni jampangi’ (anak yang diabaikan). Selain dari luar itu, di dalam pasar sendiri, keluarga Daeng Turu’ juga memiliki ‘area kekuasaan’. Sebut saja Daeng Opa’ dan Daeng Nanga’, dua kakaknya yang juga dikenal Rewa. Turu juga masih memiliki dua orang adik yang bernama Mile’ dan si bungsu. Mereka semua adalah keturunan dari H. Tula’ salah seorang pedagang awal di pasar Terong ini yang datang sudah sejak tahun 1950an dari salah satu kampung di kabupaten Takalar. H. Tula adalah pedagang buah-buahan dan menurunkan bakatnya kepada anaknya yang hingga kini juga telah menjadi pedagang buah senior yakni Daeng Opa’.

Hal menarik dalam dunia preman di pasar Terong ini adalah keharmonisan atau katakanlah keseimbangan kekuatan para preman untuk hidup bersama di pasar Terong tanpa saling mengganggu eksistensi masing-masing di tengah komunitas-komunitas pasar. Namun hal menarik lainnya bahwa pada masa itu ada satu preman yang sangat ditakuti oleh para preman di Terong yang bernama Juna’. Juna’ ini kerjanya adalah mencari preman yang merasa paling rewa dan di sisi lain menimbulkan keresahan di mata orang-orang sekelilingnya. Bila ada seorang preman di Terong yang merasa paling rewa maka dia datangi saja, mengajaknya berkelahi, atau langsung menikamnya tanpa tedeng aling-aling.

Menurut cerita, Juna’ adalah anak dari kampung Kandea, putra Daeng Sikki yang berjualan ban bekas di jalan Bandang. Orang-orang dan banyak preman takut padanya hingga suatu malam di awal tahun 2000, dia ditemukan mati bersimbah darah sepulang dari minum-minum. Menurut kabar dari seorang penutur, seorang preman lain entah dari mana telah merencanakan untuk mencegatnya dan lalu membunuhnya.

Beberapa hari setelah kematiannya, tersiar kabar bahwa arwahnya bergentanyangan dan masuk ke dalam tubuh salah seorang. Dari tubuh itu arwah Juna bercerita tentang siapa orang yang membunuhnya dan meminta pihak keluarga untuk tidak perlu dendam.

Hal menarik lagi, pada rentang tahun 1980an dan 1990an ketika pasar Terong mulai dibangun oleh pihak ketiga PT. Prabu Makassar Sejati (nama perusahaan sebelum menjadi PT. Makassar Putra Perkasa) dikenal seorang tentara aktif yang bertugas di sana. Namanya adalah Sampe dengan pangkat Letnan Kolonel (?). Dia berasal dari tanah Mandar di Polewali. Sampe dikenal sangat keras dan tegas kepada pedagang dan preman di Terong. Dari kesatuan dialah komunitas preman di pasar Terong mulai terusik. Satu persatu preman-preman itu pergi, pun beberapa pedagang yang takut padanya juga memilih pergi menjual di pasar lain. Besar kemungkinan ini berkaitan dengan kekuasaan atas area atau lahan tertentu.

Dari berbagai penuturan, Sampe memang bersikap sangat kasar kepada bukan saja para preman tapi juga kepada para pedagang. “Dia suka sekali menendang bakul atau meja dagangan kami.” Demikian Dolli bercerita. Dia adalah salah seorang pedagang yang sempat memilih pindah menjual di pasar Pannampu saat Sampe berkuasa di pasar Terong.

Relasi pedagang – preman di pasar Terong mulai bergeser di saat pihak ketiga di tahun 1994-6 mengambil peran di sini. Ketika pemerintah meminta bantuan pengusaha untuk mengelola revitalisasi pasar Terong muncul berbagai masalah seperti distribusi dan mahalnya harga kios di dalam gedung pasar yang baru dan berkurangnya akses pembeli ke lantai atas (dua dan tiga dimana pedagang sayur mayur dan ikan ditempatkan). Banyak pedagang sayur mayur dan kebutuhan pokok lainnya lalu ramai-ramai kembali menempati badan jalan dan mengisi area di sekitar gedung (kini dikenal sisi Utara dan sisi Selatan, lalu sepanjang jalan Sawi dan Kubis serta poros Terong di mana sebelum pembangunan gedung pasar sudah digunakan). Pengusaha lalu mengalami kerugian karena kios-kios dan lods-lods yang telah terjual tidak dilanjutkan cicilannya. Pendapat pedagang sederhana saja, “bagaimana mungkin mereka bisa menjual di dalam gedung sementara pengunjung/pembeli enggan masuk”. Demikianlah relasi pedagang – pengusaha terus-menerus dalam masa ketegangan.

Para pedagang yang menempati area luar gedung semakin membuat akses pembeli semakin mudah, dan sebaliknya di dalam semakin sepi pembeli. Akibatnya proses cicilan terhambat. Pedagang yang rugi atau developer yang merugi. Dua pilihan yang sulit dan harus diselamatkan. Tentu saja pedagang menolong dirinya sendiri dengan memilih kembali badan-badan jalan dan meninggalkan tempatnya di dalam gedung. Developer tentu mengalami kerugian karena pemasukan berkurang dengan hilangnya pengguna kios dan lods yang sudah disediakan. Dari sinilah awal mula naiknya pamor Daeng Turu’ di pasar Terong.

Di era tahun 2000 saat Juna’ mati di tangan salah seorang preman Kandea, Turu’ kembali ke Makassar setelah perantauannya di Jakarta bersama jaringan keluarga Cendana. Dua tahun berikutnya, di tahun 2002/3 PT. Prabu Makassar Sejati mulai menunjukkan sikap kerasnya. Dia ingin membersihkan pedagang di area pasar Terong dan memaksa mereka masuk ke dalam gedung yang semakin terbengkalai. Mulailah dikenal preman bayaran di pasar Terong. Daeng Turu’ yang pada dasarnya rewa dan berasal dari keluarga besar pedagang buah dari Takalar memperoleh angin segar untuk tampil sebagai ‘penguasa baru’ di area itu.

Pada tahun 2003 sebelum terjadi pembongkaran ‘pedagang liar’ di pasar Terong, pihak Developer dan Perusda meminta Turu’ untuk mencari ratusan preman dalam membantu proses pembongkaran paksa. Demikian pula pihak pemerintah yang menyediakan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) untuk melakukan pembongkaran. Sejak saat itu, Turu’ dipercaya oleh PD Pasar Makassar Raya dan pihak Developer untuk mengelola beberapa urusan penting, seperti penagihan parkir, listrik, hingga jasa penggusuran pedagang. Daeng Turu’pun mulai bekerja secara profesional dan di gaji hingga 3 juta rupiah perbulan oleh pihak PD Pasar.

*****

Sebenarnya Turu’ memang tidak tergolong besar dan kekar. Tinggi tubuhnya hanya berkisar 162 cm saja dan beratnya tak sampai 70 kg. Tergolong kecil dibanding dengan orang-orang yang duduk di warung kopi Herman ini. Kelebihan Turu’ hanyalah kedekatannya dengan pihak-pihak seperti Kadir Halid sebagai direktur utama Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya dan Ferry Sulistyo sebagai direktur PT. Makassar Putra Perkasa. Disamping itu dia juga dekat dengan banyak polisi yang biasa mangkal di jalan Mesjid Raya. Di sana dia memiliki kios kecil tepat di ujung trotoar jalan Mesjid Raya di depan mesjid Al-Markaz Al-Islamic dan menjadi tempat polisi-polisi muda bercengkerama di sana saat tugas sweeping atau patroli.

Itu saja, makanya bagi para preman ini, berkelahi dengan Turu’ hanya buang-buang waktu saja. Karena kalau diproses di kantor polisi dia akan dengan mudah dilepaskan dan sebaliknya lawannya bisa dipersulit.

Ini pulalah yang membuat Turu’ dan anggotanya tidak pernah terlihat nongkrong di warung kopi ini atau melintas di sektor ini. Inilah sektor Tangga Selatan, dimana berdiri lapak-lapak dan meja-meja kayu dengan pedagang-pedagang yang sama sekali tidak takut dengan keberadaan Daeng Turu’. Makanya, Turu’ lebih memilih beroperasi di bagian Utara dan poros jalan Terong di pintu Utara ketimbang di banyak sektor lain dimana pedagang-pedagang lebih terorganisir dan siap bahu-membahu membantu pedagang yang dirugikan oleh tindakan sepihak PD Pasar Makassar Raya dan PT. Makassar Putra Perkasa melalui tangan Turu’. Menurut pengakuan Turu’ sendiri wilayah kekuasaan yang diberikan oleh PD Pasar Makassar raya kepadanya memang adalah letter L itu, yakni wilayah di bagian Utara dan di bagian depan bangunan pasar Terong.

Pedagang-pedagang yang terorganisir dalam wadah Persaudaraan Pedagang sektor informal Pasar Terong (SADAR) ini, menurut Zainal Siko, dibentuk untuk mempersatukan pedagang kecil di pasar ini. SADAR yang didirikan sejak tahun 2003 berbeda dengan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) unit pasar Terong—yang diketuai kini oleh Daeng Turu’—dimana dalam prakteknya hanya mengakomodir kepentingan para pedagang pemilik kios atau lods di dalam gedung pasar Terong. Selain kedua organisasi pedagang itu, sebenarnya dikenal satu organisasi lain yang bernama Asosiasi Pedagang Pasar Terong (APPT) yang diketuai oleh Makka. Namun, menurut Daeng Turu’ organisasi ini kini tinggal memiliki pengikut beberapa puluh orang saja karena lebih mementingkan kepentingan pedagang-pedagang tertentu saja, khususnya mereka yang menjadi bagian keluarga dari Makka sendiri.

Di tahun 2003, ketika aksi pembongkaran mendapat legitimasi dari pemerintah kota Makassar melalui PD Pasar Makassar Raya dilakukan, para pedagang di sektor Selatan ini tidak gentar sedikitpun. Daeng Nur, seorang pedagang perempuan yang menjadi kepala sektor di sini mencibir Turu’ dan ratusan preman yang dikerahkannya ketika melintas diantara lapak-lapak ini. Bongkar saja! Dalam waktu singkat kami akan menempati lagi. Begitu kira-kira arti komentar Daeng Nur dalam dialek Makassarnya yang kental.

Menurut pengakuan Daeng Turu’, sudah tiga kali dia terlibat dalam aksi pembongkaran paksa lapak-lapak, meja-meja, tikar-tikar, dan berbagai jenis tenda para pedagang ini. Itu terjadi pada tahun 2000, 2003, dan 2007. Pembongkaran biasanya dilakukan dengan full team yang terdiri dari pihak Satuan Polisi Pamong Praja atau satpol PP, pihak kepolisian, dan preman. Menurutnya, preman terpaksa digunakan dalam pembongkaran ini karena pedagang pasar melakukan perlawanan.

Tentu saja kami melawan! Bukankah pembongkaran semacam ini adalah perampasan hak hidup kami, karena menjual adalah pekerjaan sehari-hari kami. Begitu argumen dari banyak pedagang yang nasibnya ditentukan oleh ‘political will’ pemerintah ini. Menurut Turu’, para pedagang ini bodoh. PD Pasar Makassar Raya dan PT. Makassar Putra Perkasa menyediakan meja untuk mereka, tetapi mereka tidak ingin pindah, padahal tempat itu adalah gratis.

Daeng Nur menampik informasi itu pada suatu waktu di acara ‘Assisambung Kana’ yang dilaksanakan oleh Active Society Institute (AcSI) di Makassar pada pertengahan tahun 2008 lalu. Dia mengatakan bahwa bohong besar kalau meja yang dimaksud itu adalah gratis. Meja-meja itu sengaja dijual kepada pedagang-pedagang tertentu yang tertarik dan memilih selamat secara individual ketimbang perjuangan mereka yang mewakili ratusan pedagang ini. Jumlah pedagang yang dirugikan jauh lebih besar ketimbang meja pengganti yang disediakan, dan itu tidak gratis, sekali lagi tidak gratis! Demikian Daeng Nur berapi-api menentang pendapat Kadir Halid dalam acara tersebut.

Pada suatu hari yang terik, sehari sebelum tanggal 1 Muharram tahun 2009, Oher, juru parkir di pasar Terong, bercerita sambil duduk di atas salah satu motor bebek yang dijaganya di area parkir di lantai 1 pasar Terong. Sambil menghisap rokok kreteknya dalam-dalam dia bercerita tentang Daeng Turu’ yang dikenalnya sebagai preman di pasar Terong ini.

Menurutnya, Turu’ adalah preman yang “ringan-tangan” alias sangat mudah melayangkan pukulan atau hantaman kepada orang yang tidak disukainya. Bukan hanya dengan benda-benda tajam tapi juga benda-benda lain apa saja didekatnya, seperti balok kayu, rantai, selang, dan lain-lain dapat digunakannya untuk berkelahi. Suatu waktu dia juga pernah menyaksikan Turu’ menusuk salah seorang preman yang entah siapa dan karena alasan apa datang mencari daeng Turu’ dengan penuh emosi. Tanpa tedeng aling-aling Turu’ menusuk perut orang itu dengan sebilah badik dan membuat usus orang itu terburai.

Baginya, Daeng Turu’ memang bukan preman sembarangan. Luka-luka sabetan badik dan golok ada di beberapa di bagian tubuhnya. Wajahnya masih menyimpan bekas luka sayatan parang. Demikian pula lengan kirinya yang invalid akibat sabetan parang Eka saat masih sama berjualan ekor ikan di galangan kapal. Begitulah Turu’, berkelahi adalah pilihan untuk menyelesaikan masalah. Tidak peduli dengan siapa dia berhadapan.

Di pasar Terong inilah dia menggenggam kuasa atas beberapa sumber uang, seperti parkir, listrik, dan tentu saja “izin” darinya—sebagai “kepala keamanan informal”—bagi setiap pedagang yang ingin menempati area berdagang di pasar Terong. Ada banyak tempat alternatif yang bisa “disulap” oleh Turu’ menjadi lokasi berdagang. Ruang itu bisa di sudut-sudut tertentu baik yang dianggap strategis maupun yang dianggap berada di luar ketentuan hukum, seperti badan jalan atau lokasi pedagang tertentu yang sudah ditinggalkan.

Di sini, seluruh tukang parkir menyetor uang parkir padanya dan banyak pedagang kecil tergantung pada ‘kemurahan hatinya’ dalam memperoleh tempat untuk berjualan. Termasuk Oher, salah seorang tukang parkir (yang juga adalah ayah mertuanya) yang wajib menyetor 20 – 30 ribu rupiah perhari, jauh di bawah setoran dari area parkir lain yang bisa hingga 150-200 ribu perharinya.

Pada suatu hari, Turu’ menunjukkan sebuah dokumen perencanaan rehabilitasi pasar Terong. Hingga kini menurutnya pasar Terong telah menelan biaya pengelolaan sebesar 58 Miliar rupiah. Sebuah biaya yang sangat besar. Dalam keadaan penanganan yang sudah carut marut ini sangat sulit memulai penataan kembali pasar Terong. Sepertinya ini hanya akan dibiarkan terbengkalai dan mati dengan sendirinya. Satu-satunya jalan yang mungkin ditempuh adalah pengalihan badan pengelola pasar Terong, dari perusahaan daerah pasar Makassar Raya dan pihak pengembang PT. Makassar Putra Perkasa kepada pihak lain. tapi, menurut Turu’, biaya pengalihan pengelolaan itu setidaknya membutuhkan dana 30 Milyar rupiah sebagai ganti atas biaya yang sudah dikeluarkan oleh PT. Makassar Putra Perkasa.

Menurut Turu’, yang perlu dipikirkan pedagang yang berdagang di tempat yang dilarang adalah bahwa wilayah itu adalah milik pengembang. Bila pengembang ingin mengambil milik mereka maka pedagang harusnya pergi. Dalam wawancara saat itu, Turu’ memprediksi bahwa bila pihak developer melanjutkan pembangunan ruko di sektor Selatan yang tak selesai itu, maka para pedagang di sekitarnya akan habis!

Namanya Abdurrahman Daeng Turu’, tapi lebih dikenal sebagai Daeng Turu’. Lahir di Takalar pada tahun 1962. Keluarganya adalah turunan pedagang dari Takalar yang mendiami pasar sejak awal. Ayahnya adalah pedagang buah generasi awal di tahun 1960an, Haji Tula. Menurut Turu’, kurang lebih 40 persen pedagang di pasar Terong adalah keluarganya.

Turu’ sendiri walau lahir di kabupaten Takalar, melewati masa kecilnya di pasar terong. Pada saat itu kawasan Terong masih becek penuh lumpur. Namun walau becek pengunjung tetap ramai berdatangan setiao harinya untuk bongkar muat dan menjual. Kanal yang kini hitam dan kotor semasa kecilnya penuh dengan tanaman kangkung dan dangkal.

Sebelum Turu’ memegang peranan penting di pasar Terong sebagai preman, dia pernah melanglang buana bersama kelompok Tomy Soeharto di Jakarta pada tahun 1981 – 1984 dan selanjutnya ikut dengan “raja hutan” Bob Hasan selama enam tahun (1985 – 1991) dengan tempat tugas ke area Timur hingga Irian sampai Timor Timur (kini Timor Leste), termasuk Jawa dan Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar