Minggu, 10 Januari 2010

PEREMPUAN PEMBERANI DARI PASAR TERONG


Profil singkat; Nursiah Daeng Nur (49), adalah seorang ibu dengan sepuluh anak dan sekaligus pedagang di Pasar Terong yang sejak kecil tumbuh di pasar ini dan mulai menjual di awal tahun 1980. Kiprahnya sebagai pedagang kecil, atau “Pedagang Kaki Lima” sebagaimana sering dicap oleh Negara telah dirasakannya dengan penuh suka dan duka. Dimulai dengan lemahnya akses modal,—yang kemudian diselamatkan oleh budaya sitallassai parangta rupa tau di pasar Terong, atau budaya saling menghidupi satu dengan lainnya—lalu kasarnya perlakuan aparat negara dalam mengendalikan perilaku para pedagang kecil ini (bahkan hingga kini) telah membuatnya semakin tegar dan memahami bahwa “betapa menjadi pedagang kecil adalah sebuah perjuangan hidup di negeri yang pemerintahnya tak peduli orang-orang kecil ini”.

Daeng Nur, adalah figur perempuan pejuang yang terus menerus mengobarkan semangat perlawanan pedagang setiap kali negara dan aktor lainnya memperlakukan mereka secara tidak adil di pasar. Bahkan, peristiwa penganiayaan atas dirinya pada tanggal 31 Oktober 2009 lalu, yang mematahkan tulang pangkal lengannya dan membuat kedua pipi dan paha kananya biru lebam juga tak gentar mengendorkan semangatnya. Bahkan sebaliknya, dia terus membakar semangat pedagang untuk melakukan tuntutan dan perlawanan agar tidak ada lagi pedagang dianiaya seperti dirinya, hingga akhirnya tanggal 9 Nopember 2009, melalui ikatan Persaudaraan Pedagang Pasar Terong atau disingkat SADAR, bersama lebih dari seribu pedagang pasar Terong (dan ratusan simpatisan dari pasar Panampu) mereka Long-March dari pasar Terong ke DPRD kota Makassar untuk memberitakan penganiayaan ini.

Daeng Nur memang hanya pedagang kecil, tapi refleksi dari pengalaman hidupnya sebagai pedagang kecil itu telah membawanya pada kesadaran untuk membebaskan pedagang kecil dari ketidakberpihakan pemerintah. Dia menuntut agar pemerintah kota tidak perlu menggunakan tenaga preman dalam mengatur pasar (premanisme). Menurutnya, penggunaan preman di pasar hanya menimbulkan keresahaan bagi pedagang. Pedagang tentu tidak takut dengan preman, karena di pasar Terong sendiri, para preman dimaksud seringkali adalah tetangga para pedagang. Penggunaan preman baik oleh pengusaha maupun pemerintah hanya menjadi alat untuk memaksakan kehendak. Padahal, pasar adalah milik rakyat, pasar adalah milik pedagang. Bila ingin pasar baik, maka libatkan pedagang dalam mengambil keputusan, mari duduk bersama, begitu Daeng Nur selalu berpikir.

Tapi, pengusaha dan pemerintah lebih sering tutup mata dan tutup telinga. Tindakan mengabaikan pedagang kecil selalu berulang. Sepanjang ingatan Daeng Nur, di akhir 1980an dan di awal 1990an, saat Pasar Terong dikontrol oleh Tentara yang bernama ‘Pak Sampe’—yang dikenal amat kejam kepada pedagang kecil—dia harus pura-pura ‘gila’ agar dapat berjualan setiap harinya di pasar Terong. Bahkan dia harus ‘bergerilya’ dari jalan yang satu ke jalan yang lainnya di area pasar Terong dan membuat ‘kode tertentu’ bagi langgananya agar bisa bertransaksi menjual barang dagangannya. Bukan itu saja, di sepanjang tahun 2000an, saat pengusaha atau pengelola gedung Pasar Terong mulai membayar preman untuk melemahkan posisi pedagang kecil, Daeng Nur rela berhadap-hadapan dengan salah satu preman yang ditakuti banyak pedagang, Daeng Turu’, agar tidak mengganggu sektor Tangga Selatan di mana dia dan ratusan pedagang kecil lainnya berjualan. Begitu seterusnya, hingga kejadian terakhir di mana dia di pelintir, dipukuli, diinjak-injak, bahkan dihadapan lima polisi, beberapa tentara, bahkan seorang pelaksana tugas direktur Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya yang seharusnya melindungi pedagang kecil yang membayar gaji bulanannya.

Kini, Daeng Nur, beranjak sembuh, tapi tentu saja dia tak akan jera memperjuangkan nasib kawan dan saudara-saudaranya. Prinsip hidupnya, seperti banyak dipegang oleh pedagang pasar Terong, MANNA BORI PARA BELLA, KAPA’ MAI PARA BAJI, ASSING KAMMA TONJI BALLA’ SE’RE NI RUWAI, DEKKENG!

“walaupun kampung kita sama jauhnya, tapi hati kita sama baiknya, ibarat satu rumah kita hidup bersama, wahai saudaraku!

1 komentar:

  1. MGM Grand | Casino, Hotel, Restaurants - JTM Hub
    At MGM Grand, enjoy a 김제 출장샵 variety of dining and entertainment options 광주 출장샵 and stay connected to your Las 세종특별자치 출장안마 Vegas 경상북도 출장샵 hotel room. 천안 출장안마 Discover what makes this place extraordinary.

    BalasHapus