Kamis, 07 Januari 2010

Enal, Teman Pedagang Pasar

"Ku tembak ko!" Polisi itu menodongkan pistol yang selama ini setia bertengger di pinggangnya. Lelaki kecil di depannya tak bergeming.
"Tembak ma!" Lantang lelaki itu menyamai suara si polisi yang berpangkat sersan mayor.

18 April 2001. Pasar Sentral Makassar ricuh. Pedagang-pedagang kecil berkerumun untuk sebuah perlawanan atas ‘entitas negara’ yang rakus. Orang yang mereka hadapi adalah La’lang, anggota Binmas sekta Wajo. Mereka marah atas pungutan yang diberlakukan sudah melampaui batas kemampuan. Mereka adalah para pedagang dari salah satu terowongan di Pasar Sentral dan menyebut diri ‘kelompok enam’. Setoran pungutan liar yang selama ini senilai 400 ribu perbulan akan melambung menjadi 700 ribu. Sebuah bilangan yang makin memberatkan pedagang.

Di depan kerumunan itu, dua orang sedang berhadap-hadapan. Yang berbadan besar dan tegap mengacungkan pistol tepat di kepala lelaki kurus ini. Dia tidak gentar! Gelora semangatnya tidak kendur. Suaranya bergetar di antara ketegangan orang-orang, “Anda sudah melakukan tindakan sewenang-wenang di sini.”

Pistol itu masih teracung di jemari tangan kanan La’lang. Seratusan pedagang kecil berdiri di belakangnya menggenggam apa saja dan siap menghambur kalau-kalau pistol itu benar-benar melontarkan peluru. Untunglah, peluru itu akhirnya benar-benar tak dilesatkan oleh si empunya jari. Suasana yang mencekam reda seketika. Polisi itu pergi meninggalkan kerumunan setelah menyatakan pembatalan rencana penambahan ‘sussung pasara’ (pungutan pasar) itu.

Siapa laki-laki itu? Namanya Zainal Siko. Orang-orang pasar memanggilnya Pak Enal atau Enal saja. Berperawakan kecil, kurus dan selalu berkaos dengan corak etnis dari berbagai daerah di Indonesia. Dia bukan pedagang, tetapi teman dari banyak pedagang kecil di pasar-pasar lokal di kota Makassar. Di tahun 1995 silam, ketika dia mulai berkenalan dengan para pedagang pasar Sentral, statusnya masih mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia. Bersama kawan-kawannya di FOSIS (Forum Isu-Isu Strategis) Universitas Muslim Indonesia, dia memilih mengobrol tentang apa saja dengan pedagang. Mendengar kisah-kisah mereka. Di tahun 1997 dia mulai akrab dengan masalah-masalah pasar lokal, mulai gelisah dengan rencana-rencana pemerintah kota dalam melakukan modernisasi pasar-pasar lokal yang dianggap pemerintah sebagai ‘tradisional’. Dia memilih menemani pedagang-pedagang kecil yang gelisah ketimbang duduk di bangku kuliah di kampusnya. Saat itu para pedagang kecil—oleh negara kerap dicap pedagang kaki lima—yang berjualan di pasar-pasar lokal seperti Sentral dan Terong memang mengalami penindasan.

Setelah kejadian itu, orang-orang pasar mulai menyadari pentingnya sebuah organisasi yang dapat menopang kegelisahan mereka dan menyikapi berbagai kebijakan yang tak berpihak. Melalui musyawarah bersama para pedagang pasar, akhirnya sebuah organisasi bernama ASPEK-5 (Asosiasi Pedagang Kaki Lima) Makassar-Mall didirikan pada Mei 2001. Pada saat itu, ASPEK-5 pernah berdialog dengan Walikota Amiruddin Maula dan menghasilkan sebuah keputusan yang sangat berarti dan dampaknya masih dirasakan hingga sekarang: pendirian dua tenda bulan yang cukup besar sehingga menampung kurang lebih 617 pedagang kaki lima. Kini Enal tidak lagi intens mendampingi pedagang kecil di Sentral. Hanya waktu-waktu tertentu dia muncul di sana, khususnya ketika pedagang-pedagang kecil merasa terancam penggusuran.

Enal di Pasar Terong
Tahun 2002, Muchtar, seorang pedagang coto mendatangi Enal untuk mendiskusikan nasib pedagang kecil di pasar Terong. Dia menjual di kedai ‘Coto Bahagia’ yang berada tepat di ujung sisi kanal Panampu dekat mesjid Al Markaz. Pada saat itu, para pedagang ingin mendirikan sebuah lembaga yang dapat menghimpun pedagang kecil pasar Terong. Maklum, pasar ini adalah salah satu pasar yang paling gencar digusur pemerintah kota dengan alasan ‘penataan’ pasar.

Jauh sebelum dibangun secara resmi di tahun 1970, sudah banyak pedagang yang berdagang di tepi jalan Terong dan sekitarnya. Menurut Haji Daeng Tula dan Haji Nunu Pa’du, mereka sudah berjualan di Terong selama lebih 40 tahun atau sekitar tahun 1960an—saat itu, kondisi sekitar Terong masih berawa dengan lumpur selutut. Adalah Daeng Patompo, walikota pada masa tahun 1970an yang membangun pasar untuk pertama kalinya. Dalam perkembangannya, pada tahun 1997, walikota Malik B. Masri melakukan modernisasi pasar Terong dengan membangun sebuah gedung baru yang mirip mal dengan fasilitas mewah. Pasar yang awalnya hamparan kini berlantai tiga dengan elevator, lift, kios berpintu tirai besi, dan lods yang berlantai. Sejak saat itu, persoalan penataan pasar menuai masalah, protes dari banyak pedagang kecil bermunculan.

Ada dua masalah penting sekaitan dengan pasar moderen ini—selain persoalan budaya hamparan dan bukan dengan bangunan bertingkat—adalah harga kios atau lods yang mahal dan jumlah yang tidak memadai untuk seluruh pedagang, khususnya pedagang kecil. Harga satu kios saja bisa berkisar 30 – 80 juta (sesuai dengan luas dan ukuran) dengan uang muka 2,5 hingga 8 juta rupiah. Bagi pedagang menengah dan besar (modal lebih dari 10 juta rupiah), masalah harga dan angsuran bulanan tidak akan menjadi masalah penting. Tapi bagi pedagang kecil, tiada pilihan lain selain berdagang di luar gedung: sudut-sudut jalan dan lorong yang ada. Setiap lahan bisa jadi adalah tempat menjual dan pedagang meluber di sana-sini. Malangnya, mereka jadi rentan penggusuran dan pungutan liar oleh pemerintah dan preman. Akibatnya, mereka menjual dalam ketakutan.

Di pasar Terong, dan lazimnya di pasar-pasar lokal di Makassar, karakteristik pedagang kecil sangat beragam. Di sana dikenal pagompo, parappung, palapara, dan pamejang. Pagompo adalah pedagang dengan bakul atau keranjang yang mengambil barang dari pedagang besar/pengumpul (biasanya barang kelas dua) di waktu pagi dengan modal kepercayaan dan menjualnya secara eceran bagi pembeli kecil seperti Rp. 500,- per-gompo (satu genggaman). Lalu, parappung adalah orang yang bekerja sejak subuh hari dengan membantu proses bongkar muat dan memungut barang-barang yang jatuh atau sudah dibuang tapi masih baik. Contohnya adalah kol, sawi, tomat, dan beras. Kol atau sawi yang sudah hitam lapis luarnya dia bersihkan atau kupas dan dijual kembali. Sementara, palapara’ adalah pedagang yang mengambil barang di subuh hari, bayar sore hari, dan barangnya masih segar. Untuk kategori pamejang, adalah pedagang yang menggunakan meja atau lapak yang jualannya kurang lebih sama dengan pedagang palapara’. Selain pedagang kecil di atas, di pasar lokal juga tempat bergantung bagi penyedia jasa. Sebut saja misalnya Papisi’. Mereka umumnya adalah perempuan tua yang membantu memisahkan tangkai lombok atau cabe dan mengiris bawang merah dan bawang putih dengan upah 500-1000 rupiah perkilonya. Ada juga anak-anak pengangkut barang dagangan bagi pembeli dan pengangkut sampah dengan gerobak dan lain-lain.

Dalam perkembangannya, penataan pasar Terong memang meninggalkan banyak kegelisahan sekaligus kisah perlawanan pedagang. Dalam sepuluh tahun terakhir saja setidaknya ada tiga kali proses pembongkaran paksa para pedagang yang berjualan di luar gedung, yakni tahun 2000, 2003, dan 2007.

Daeng Nur, seorang pedagang perempuan di sektor Selatan menceritakan betapa masa-masa pembongkaran ini telah menjadi momok yang menghantui para pedagang. Cara-cara keji melalui teror dan bongkar paksa digunakan oleh bukan saja satuan polisi pamong praja (Satpol PP), namun juga kesatuan polisi, militer, bahkan preman. “I katte ngaseng anne tena kikkulle attinro nyamang sanggenna sampulo ruang taung sallona rilalanna abbalu-balu’ka anrinni.” Demikian Daeng Nur mengekspresikan kegeramannya tidak bisa tidur nyenyak selama menjual 12 tahun terakhir di pasar Terong (Wawancara dengan Daeng Nur, 14 Februari 2008).

Pada sebuah wawancara dengan pimpinan preman pasar Terong, Daeng Turu’, diceritakan bagaimana orang ini bekerja sama dengan direktur Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya dan Pengembang pasar Terong PT Prabu Sejati dalam penyewaan ratusan preman untuk membantu pembongkaran paksa.

Saat itu saya bertanya “pernahkah Daeng bentrok dengan pedagang?” Dia menjawab “boleh dikata setiap hari. Kalau ada perintah dari PD pasar atau developer untuk bongkar ya saya bongkar. Orang pasti menyangka saya membongkar kiosnya, padahal itu perintah yang saya laksanakan. Orang pasti sakit hati sama saya tapi mereka tidak berani”. Matanya nyalang menatap saya. Ucapannya sangat serius di sela-sela dia menghisap rokoknya.

Lalu saya tanya lagi, “berapa kali mi pembongkaran di sini?” Dia menjawab “dua kali mi 2003 dan 2007, artinya tidak bentrok bagaimana, orang pasti pikir kau bongkar tempatku, pasti mereka sakit hati”.
“Bagaimana bentuk bentroknya, Daeng?” saya memancingnya untuk bercerita lebih jauh.
“Baku buru parang dan busur. Saya gunakan buruh kerja hingga 300 orang untuk membantu pembongkaran. Di tahun 2003 operasi sampai 1 tahun, sementara tahun 2007 hanya tiga bulan saja. Kita membongkar siang malam dengan dikawal polisi, koramil dan pamong praja dan mantan preman. Kami pakai preman karena ada perlawanan dari pedagang dan mereka dapat 50 ribu perhari, nyawa taruhannya (wawancara dengan Daeng Turu’, 27 Februari 2009).

Aktor-aktor yang bermain dalam Pasar
Di pasar ini Enal bersinggungan dengan relasi kuasa dan kepentingan dari orang-orang atau kelompok yang hendak mengambil untung. Sebut saja pihak pemerintah kota, yang mempercayakan pengelolaan pasar lokal kepada Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya—termasuk Unit pengelola Pasar Terong—dengan direktur adalah Kadir Halid (praktisi partai Golkar Sulawesi Selatan) yang berkoalisi dengan pihak pengembang, PT. Makassar Putra Perkasa (sebelumnya bernama, PT Prabu Makassar Sejati). Kepentingan keduanya jelas. Yang pertama untuk menambah pundi Pendapatan Asli Daerah (PAD) kota Makassar melalui retribusi dan yang kedua untuk kepentingan murni profit. Di antara dua kepentingan itu, pedagang pasar—yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup—menjadi objek mereka.

Sayangnya, relasi keduanya tidak selalu sejalan. Pemerintah kota dan pengembang terus menerus menghisap pedagang, baik melalui kebijakan maupun tindakan represif atas nama ‘penataan pasar’. Akibatnya, posisi konfliktual tak terhindarkan. Diam bagi pedagang, bukanlah jalan keluar dari ketidaknyamanan ini. Tetapi mereka selalu waspada dan melawan di saat yang tepat. Dari beberapa hasil wawancara selama 1 tahun terakhir oleh Active Society Institute (AcSI), pola perlawanan pedagang atas ketidakadilan ini berbeda setiap waktu, hingga akhirnya kini melalui sebuah organisasi bernama ‘SADAR’.

SADAR atau Persaudaraan Pedagang Pasar Terong didirikan oleh pedagang pada tanggal 26 Juni 2003. Melalui organisasi ini, banyak hal sudah ditempuh oleh Enal dan anggotanya yang berjumlah lebih 1000 pedagang pasar. Bila tiba masa-masa kekerasan seperti penggusuran, tidak jarang Enal memilih tinggal bersama pedagang dan berjaga-jaga di setiap waktu dan mendiskusikan langkah-langkah yang harus diambil.

Melalui kepala-kepala sektor—sektor Labu, Kubis, Sawi Selatan, Sawi Utara, Sektor Bayam, Sektor Tangga Selatan, Sektor Kangkung, dan Sektor Mentimun—yang dibentuk oleh SADAR, banyak informasi yang diperoleh setiap kali ada rencana penggusuran. Bahkan, relasi dengan sesama pedagang dari pasar lain seringkali menginformasikan bahwa dalam waktu dekat akan ada kejadian penting di Terong.
Biasanya, pedagang-pedagang dari luar pasar Terong akan berbisik-bisik, “Eh, tadi ada orang cari preman untuk datang ke Terong, mau dibayar 50 ribu satu hari,” ungkap Daeng Nur. Kalau sudah begitu, mereka akan bersiap siaga.

Selain perlawanan atau katakanlah pembelaan secara fisik, melalui SADAR Enal juga tidak segan-segan membawa pedagang untuk berdialog dengan pemerintah dan anggota Dewan kota. Mereka pernah datang ke gedung rakyat dan menyuarakan aspirasi mereka. Namun semua kecewa, karena hingga sekarang anggota legislatif itu belum berpihak pada masalah ketidakadilan yang terjadi di pasar lokal. Kecenderungan pemerintah meninggalkan kepentingan pedagang kecil di pasar-pasar lokal di Makassar semakin terlihat dengan ekspansifnya pasar moderen dibangun di berbagai sudut kota tanpa memperhatikan rencana tata ruang wilayah (RTRW) kota Makassar dan jarak dengan pasar lokal yang ada. Salah satu contoh adalah kecamatan Tamalanrea sebagai area pendidikan, kini dibanjiri oleh berbagai rumah toko, supermarket dan mal. Sementara, jarak antara pasar lokal dengan pusat pertokoan setidaknya 2,5 km menurut Peraturan Presiden nomor 112/2007. Tapi coba lihat jarak antara pasar sentral dengan Makassar Trade Center (MTC) dan Karebosi Link yang hanya berkisar 200 meter atau Mall Panakukang dengan pasar Toddopuli, apakah cukup jauh jarak antar keduanya? Belum lagi ketentuan bahwa pusat perbelanjaan tidak bisa berada di lingkungan dalam kota.

Enal bersama AcSI
Kini, bersama AcSI, Enal menemukan cara baru dalam strategi pendampingan. Dia telah meyakini bahwa data adalah senjata utama dalam memperjuangkan nasib pedagang kecil. Melalui divisi mediasi di AcSI, dia menciptakan ruang baru dialog bagi aktor-aktor yang berseteru yang ia beri nama ‘Assisambung Kana’ atau mempertemukan kata. Kini, dialog sudah dilaksanakan dua kali dan sedang mempersiapkan pertemuan selanjutnya bersama pedagang pasar Butung. Selain itu, divisi ini juga melakukan pekerjaan yang mungkin tak banyak dilakukan oleh pendamping manapun di Indonesia, yakni riset etnografis yang sudah dan masih berlangsung selama 8 bulan untuk mengumpulkan data dan akan menjabarkan kehidupan keseharian pedagang-pedagang kecil di pasar Terong. Tentu saja Enal tidak sendiri dalam mengerjakan ini. Seorang dari komunitas Ininnawa dan 10 peneliti muda AcSI turut merasakan hidup bersama pedagang selama 7 hari dan hingga kini sejak awal tahun 2008, secara rutin berkunjung ke pasar Terong.

Dialah Enal, setiap dia muncul di pasar dia akan disambut dengan hangat oleh teman-temannya dan akan singgah sekadar ngobrol sambil ngopi. Orang-orang pasar, yang ingin juga berbuat baik kepada Enal akan serta merta membungkuskan beberapa barang dagangannya seperti tomat, cabai, aneka sayuran, pakaian bayi, sandal anak-anak, atau apa saja untuk lelaki berperawakan kecil ini. Karena, para pedagang itu merasakan betul "sentuhan" Enal selama ini.

Apa sebenarnya yang menjadi kegelisahan Enal sehingga rela bersama pedagang pasar ini selama lebih dari sepuluh tahun? Dengan gamblang dia mengatakan, “Karena mereka selama ini diperlakukan tidak adil oleh pemerintah, pengembang, dan para preman”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar