Kamis, 07 Januari 2010

Ni Buntuluki Ammotere Pasara [Menemukan kembali semangat pasar Lokal]


Pada sebuah peta kota Makassar tahun 1955, hanya ada terlihat 5 pasar lokal, yakni pasar Butung, pasar Tjidu, pasar Kalimbu, pasar Baru, dan pasar Lette. Termasuk dua pasar pelelangan ikan, Gusung dan Kampung Baru. Jauh sebelum itu, di tahun 1917, sebuah photo tua memperlihatkan pasar Boetoeng diawal berdirinya. Pasar ini, begitu rapi dengan model hamparan yang hingga kini masih menjadi ciri khas dari banyak pasar lokal kita. Sebuah pasar yang telah didefinisikan oleh Negara sebagai pasar tradisional atau dengan kata lain sebagai pasar yang ketinggalan jaman. Di tahun yang sama, tepatnya 1 September 1917, sebuah peraturan tentang pasar dikeluarkan untuk menjamin tertatanya pasar ini dengan baik. Surat edaran itu bernomor 15 dan yang menjadi pengesah surat itu adalah W. Fryling. Pokok pengaturannya adalah pendayagunaan lingkungan pasar dengan model penarikan retribusi. Retribusi dalam surat itu di tulis dengan bahasa lokal ‘sussung pasara’ dengan pengawasan yang ketat dan penggunaan yang maksimal untuk berbagai kepentingan tata kelola pasar lokal.

Di Indonesia, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Harian Kompas menunjukkan bahwa terdapat kurang lebih 13.450 pasar ‘tradisional’ atau dalam konteks paper ini pasar lokal yang masih eksis yang menampung sekitar 12,6 juta pedagang (Kompas, 2006). Sementara di kota Makassar sendiri, berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh Active Society Institute (AcSI) sepanjang tahun 2008 jumlah pasar lokal sudah mencapai kurang lebih 50 buah. 16 pasar diantaranya oleh pemerintah kota dikategorikan sebagai pasar ‘tradisional’ ‘Resmi’ dan 34 pasar lainnya di cap sebagai pasar ‘tradisional’ darurat atau liar, sebuah penamaan yang mendiskreditkan pedagang-pedagang kecil yang tidak tertib. Bahkan, hal yang menggelikan, dalam pasar ini dikenal juga kepala pasar ‘darurat’ yang di SK-kan oleh direktur Perusda pasar Makassar Raya (AcSI, 2008).

Meningkatnya pasar-pasar lokal ini, diakibatkan oleh beberapa faktor. Pertama, masyarakat kelas menengah ke bawah atau kecil membutuhkan akses pasar yang murah dan dekat. Hal ini ditandai oleh sejarah lahirnya pasar-pasar lokal di kota Makassar. Bila merujuk pada definisi pasar adalah adanya penjual lebih dari satu dan terjadi transaksi jual beli dengan konsumen juga lebih dari satu maka sebuah pasar sudah bisa disebut eksis. Kedua, meningkatnya migrasi dari desa-desa di Sulawesi Selatan ke kota akibat kekacauan yang berkepanjangan di desa-desa selama keberadaan kaum ‘gerombolan’ Qahhar Mudzakkar, termasuk di dalamnya migrasi penduduk dari pulau Jawa dan Madura, Flores, Bima, dan Dompu. Di lain sisi adalah meningkatnya daya tarik kota (pull factor) di mana kota terus mempercantik diri melalui pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik bagi masyarakat kota.

Ketiga, krisis ekonomi 1997 yang telah menyebabkan ambruknya sektor ekonomi formal yang menyebabkan terjadinya rasionalisasi pekerja (PHK) di sektor industri kota yang tinggi dan menuntut mereka memilih sektor informal untuk bertahan hidup. Dan keempat, mudahnya memperoleh modal usaha dari para ‘lintah darat’ atau yang lazim disebut ‘appa’bunga doe’’ dan koperasi dengan bunga hingga 20%.

Menuju Pengelolaan Pasar yang berkualitas dan berbasis kearifan lokal
Klasifikasi ‘tradisional’ dan ‘liar’ atau ‘resmi’ dan ‘tidak resmi’ bagi pasar lokal yang dilekatkan oleh pemerintah dan media lokal menunjukkan adanya berbagai bentuk diskriminasi. Bentuk diskriminasi dimaksud dapat dilihat dari aspek pelayanan bagi pelaku pasar lokal seperti maraknya aksi penggusuran, sulitnya akses modal usaha bagi pelaku usaha kecil dan mikro, mahalnya harga kios setelah revitalsasi pasar lokal, kumuhnya puluhan pasar-pasar lokal yang masih eksis, dan lain-lain.

Diskriminasi juga terlihat dari tiadanya regulasi yang mengatur secara khusus dan adil atas ekonomi kerakyatan, khususnya pasar lokal vis a vis pusat perbelanjaan dan toko moderen. Satu-satunya regulasi pemerintah kota yang berkaitan dengan pasar lokal adalah Peraturan daerah kota Makassar No. 12/2004 tentang ‘Pengurusan Pasar Dalam Daerah Kota Makassar’ yang sedikit banyak bernafaskan otoritarianisme di mana peran besar dilekatkan kepada pihak perusda dan pengawasnya dan menapikan peran dari pedagang pasar lokal sendiri.

Tentu saja, dari sekian perda yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah kota, belum ada kebijakan pasar yang benar-benar menempatkan pasar lokal khususnya para pedagang di dalamnya sebagai aktor utama. Dalam perda ini, pemerintah kota telah melimpahkan kekuasaan penuh kepada Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya untuk mengelola pasar. Dengan demikian seorang direktur PD Pasar Makassar Raya memiliki wewenang penuh dalam menetapkan berbagai hal seputar pasar mulai dari areal hingga waktu buka pasar.

Bila merujuk ke belakang, beberapa aturan yang sedikit banyak merujuk pada sektor informal adalah Peraturan Daerah kota Ujung Pandang/Makassar no. 10 Tahun 1990 (Tgl. 17 Desember 1990) tentang Pembinaan Pedagang Kaki Lima Dalam Daerah Kotamadya Daerah TK II Ujung Pandang, lalu no. 8 Tahun 1992 (Tgl 12 Oktober 1992) tentang Pendirian Perusahaan Daerah Bank Pasar Kotamadya Daerah TK II U.Pandang, kemudian no. 8 Tahun 1996 (Tgl. 26 Agustus 1996) tentang Retribusi Pasar dan Pusat Perbelanjaan Dalam Kotamadya Daerah Tingkat II Ujung Pandang, lalu no. 4 Tahun 1999 tentang Pendirian Perusahaan daerah Pasar Makassar Raya Kota Ujung Pandang, selanjutnya no. 17 Tahun 2002 (Tgl. 3 Desember 2002) tentang Perubahan atas Perda Kota Makassar tentang PD Pasar Makassar Raya KMUP, dan terkahir no. 12 Tahun 2004 (Tgl. 31 Agustus 2004) tentang Pengurusan Pasar Dalam Daerah Kota Makassar.

Sejak tahun 1990-an, Makassar, sebagai kota metropolitan di Indonesia Timur semakin sesak oleh keberadaan pasar-pasar moderen. Ekspansi pasar besar seperti Gelael, Makro, Hypermart, Diamond hingga Giant dan Carrefour mulai mengancam keberadaan pasar-pasar lokal di Makassar. Dalam wawancara dengan banyak pedagang kecil di pasar Terong dan pasar lokal lainnya, yang paling dirasakan adalah menurunnya omzet para pedagang itu antara 30-40% setiap bulannya. Bahkan data dari riset A.C. Nielsen menunjukkan bahwa pasar moderen di Indonesia tumbuh 31,4% per tahun, sedangkan pasar tradisional menyusut 8% per tahun. Lebih lanjut mereka menyebutkan bahwa bila kondisi ini tetap dibiarkan, ribuan bahkan jutaan pedagang kecil akan kehilangan mata pencahariannya. Pasar ‘tradisional’ mungkin akan tenggelam seiring dengan tren perkembangan dunia ritel saat ini yang didominasi oleh pasar moderen (A.C. Nielsen, 2006).

Sebuah hipotesa yang masih membutuhkan studi lanjutan adalah ‘segala kesemrawutan pasar lokal dan tidak memadainya ruang berjualan bagi pedagang yang menyebabkan banyak pedagang memilih trotoar-trotoar diakibatkan oleh keberpihakan pemerintah kota yang lebih besar bagi para investor besar atau ritel moderen ketimbang para pedagang di pasar lokal’.

Tentu saja, kelebihan pasar moderen di atas dalam memanjakan konsumen jauh di atas kemampuan pasar lokal kita. Bahkan strategi perpaduan antara berbelanja dan berekreasi juga merupakan terobosan baru dalam dunia pasar di Makassar. Beriringan dengan itu, kemauan politik (political will) yang rendah dan kemampuan pemerintah kota (services capability) yang tidak maksimal dalam mewujudkan tata kelola pasar yang berdaya guna dan berhasil guna bagi kedua belah pihak, pedagang dan pembeli pasar lokal.

Pendekatan yang tidak partisipatif telah menyebabkan pengelolaan pasar yang selama ini dikelola oleh perusahaan daerah menimbulkan beberapa kesemrawutan. Tengok saja proses ‘pemoderenan’ pasar lokal seperti pasar Terong, Sentral, Kampung Baru dan Pusat Niaga Daya yang telah gagal menampung seluruh pedagang kecil untuk berjualan di dalam gedung baru. Gagalnya menarik para pedagang untuk berjualan di dalam area, disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kultur pasar lokal adalah hamparan dan mengubah kultur itu menyebabkan kesulitan para pedagang kecil, bermodal kecil, dan pola permodalan harian, untuk bertahan di dalam pasar. Mereka lalu lebih memilih berjualan di luar area dengan mengindahkan keteraturan.

Kedua, pilihan ini, ditempuh oleh para pedagang kecil berkaitan dengan budaya berbelanja warga kota (konsumen) yang tidak mau terlalu direpotkan oleh kesulitan akses ke pedagang (naik tangga, pengap, lorong sempit, copet, lain-lain). Ketiga, adanya dualisme kepemimpinan dalam pasar yakni Kepala Unit Pasar (Perusahaan Daerah) dan direktur pengelola atau developer (Perusahan Swasta). Dua model manajemen ini tumpang tindih. Sebut saja, peran kepala pasar adalah pelayanan terhadap pedagang pedagang kios dan pedagang kecil), sementara pihak developer adalah melakukan penjualan atas petak-petak bangunan pasar (ruko, lods, basement).

Pihak developer tidak menginginkan adanya pedagang-pedagang yang berjualan di luar area gedung (walau kenyataannya banyak pedagang kecil lebih memilih berjualan di luar area). Dalam konteks ini, pihak pengelola unit pasar tetap menarik retribusi jadi pembayaran pelayanan menjadi dobel khususnya bagi pedagang rumah toko, lods, dan basement dan merugikan mereka. Para pedagang yang protes atas dua model pungutan ini kemudian harus berhadapan dengan pihak keamanan dalam hal ini ‘preman-preman pasar’ yang membackup pihak pengembang dan pihak unit pasar.

Pilihan untuk berdagang di area trotoar (area jalan raya dan area pasar dan lorong), depan ruko (hall), dan halaman atau depan rumah penduduk adalah sebuah bentuk ‘perlawanan’ dari para pedagang kecil yang dipinggirkan oleh akibat kebijakan pemerintah kota dalam membangun pasar lokal bernuansa moderen. Moderen disini diartikan secara fisik (bangunan) dan non fisik (manajemen), dimana bangunan pasar adalah bertingkat dengan pola distribusi tempat model kios dan lods. Pola distribusi ini mengakibatkan perbedaan pola kelola pasar, dimana kios dan lods kemudian memiliki harga yang tinggi dimana banyak pedagang kecil tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam membeli setiap kios dan lods itu. Bahkan, dengan mencicil sekalipun, kemampuan (affordability) pedagang kecil masih sangat terbatas.

Dalam kasus pasar Terong, harga satu lods berkisar 10 – 20 juta sementara kios bisa mencapai Rp. 60 juta untuk ukuran 2 x 1,5m dan Rp. 80 juta untuk ukuran 2 x 2m, dengan DP (uang muka) bagi yang akan mencicil di atas Rp. 10 – 15 juta dengan jarak waktu yang sangat pendek (kurang lebih 4 tahun). Belum lagi bila lokasi itu berbeda area, misalnya area strategis dan area tidak strategis. Area strategis itu berada di depan pintu masuk atau pintu jalan. Harganya bisa jauh lebih mahal lagi. Bisa dibayangkan, bagaimana pedagang-pedagang kecil mampu bersaing dalam mengakses lods yang demikian mahal itu.

Sementara dalam aspek manajemen, pihak pengelola dan developer beranggapan bahwa pedagang kecil harus tumbuh dan tumbuh besar melalui manajemen professional dan keberanian mengambil resiko dalam berdagang, seperti meminjam uang di Bank melalui sistem jaminan dan agunan lainnya. Padahal, dalam banyak kasus, pelaku ekonomi kecil atau sektor informal, umumnya menganut prinsip ekonomi kebertahanan ketimbang pertumbuhan. Bertahan adalah pilihan yang lebih aman ketimbang tumbuh yang mengandung resiko. Untuk itu, yang terpenting bagi mereka adalah bertahan untuk berdagang ketimbang memaksakan diri untuk tumbuh dengan resiko berlebihan.

Dalam penelitian etnografis yang dilakukan oleh AcSI sepanjang tahun 2008 dan 2009, intensitas interaksi dengan pedagang-pedagang kecil telah memberikan banyak informasi berharga yang berguna bagi pemerintah kota dan warga kota umumnya mengenai mengapa mereka lebih memilih ruang-ruang ‘ilegal’ itu. Salah satu informasi penting adalah pola permodalan dari pedagang-pedagang kecil. Namun, sebelum mengurai pola itu terlebih dulu perlu untuk mengklasifikasi pedagang kecil. Mereka adalah Palembara’ (tipe pedagang tertua asli Bugis-Makassar atau Melayu, kini dalam model yang lebih bervariasi seperti asongan dan pa’garoba’), palapara’ (beralas tikar atau bakul), Pagandeng (menggunakan sepeda dan becak, kini mulai ada yang menggunakan motor), dan pamejang (dengan meja).

Temuan penting dalam studi etnografi ini adalah adanya pola interaksi yang khas dari para pedagang kecil yang dibungkus oleh pilosophi ‘saling menghidupi’ atau lebih dikenal ‘Sitallassi Parangta’ Rupa Tau’ dengan 2 prinsip utama, yakni kejujuran (lambusu’) dan tanggung jawab (pammentengang). Jadi, ketika anda masuk dalam pilosophi itu maka peganglah kedua prinsip itu. Berpegang pada pilosophi inilah palembara’ , asongan, pa’geroba’, palapara’, Pagandeng, dan pamejang menjaga eksistensi dagang dan menghidupi keluarga kecil mereka.

Palembara’ (dengan jumlah yang sudah sangat terbatas) adalah pedagang yang modalnya tergantung kepada petani di desa. Mereka mengambil barang dagangan untuk kemudian menjualnya di pasar. Untuk kasus asongan, mereka mengambil barang-barang yang dianggap laku (paling dibutuhkan oleh banyak konsumen) dari kios-kios atau ‘bos-bos’ (punggawa) untuk kemudian menjualnya. Keuntungan mereka adalah selisih harga dari modal.

Palapara’ mengambil barang dari ponggawa-nya atau bos-bos pada dini hari (sekitar pukul 02.00 dan 03.00 malam) untuk kemudian menjualnya di pagi hari (berkisar pukul 06.00 – 18.00) dan melakukan pembayaran pada sore hari (pola titip-jual). Menurut cerita dari pedagang senior, sebelum merajalelanya pasar moderen, waktu menjual mereka hanya sampai pukul 09.00 saja. Namun, karena omzet semakin menurun maka waktu menjual mereka menjadi lebih panjang.

Sementara pamejang adalah mereka yang sudah memiliki modal sendiri dengan kisaran Rp. 500.000,- hingga Rp. 5.000.000. Mereka umumnya sudah lebih mandiri ketimbang pedagang kecil lainnya, bahkan untuk beberapa kasus telah memiliki jaringan dagang antar daerah hingga antar pulau.
Pola permodalan dengan pilosophi pasar lokal ini, sebenarnya bersandingan dengan pola lain yang kurang mengindahkan aspek-aspek kemanusiaan, yakni pola permodalan melalui mekanisme appa’bunga doe’ (lintah darat) dan praktek perkoperasian. Pola ini banyak digemari oleh pedagang kecil yang telah terdesak khususnya pada sesi-sesi pasar ramai, seperti bulan puasa ramadhan, hari raya Idul Fitri, Idul Adha, Natal dan Tahun Baru, Imlek dan sebagainya seperti menjelang hari pertama sekolah. Sedangkan permodalan melalui koperasi dipilih oleh pedagang tertentu untuk kepentingan yang lebih strategis. Jadi, walau dengan bunga tinggi hingga 20% sekalipun, para pedagang rela meminjam disana.

Pilihan ini, sedikit banyak serupa dengan pilihan ruang menjual di luar tempat yang sudah disediakan. Pedagang memilih keduanya (ruang ‘ilegal’ dan appa’bunga doe) disebabkan oleh ketidakadilan atas mereka. Pedagang-pedagang ini tidak mampu mengakses sistem pengaturan pasar lokal oleh perusahaan daerah maupun developer dan sistem permodalan perbankan yang tidak berpihak pada pedagang kecil. Kondisi ini tentu perlu menjadi perhatian dari semua pihak, khususnya pemerintah kota.
Dalam konteks ini, melalui kerjasama berbagai pihak perlu dibangun sebuah ‘Assisambung Kana’ atau duduk bersama menyambungkan kata dari setiap pelaku pasar lokal khususnya dalam konteks penataan pasar lokal di tengah himpitan pasar-pasar besar dari pemodal besar. Semangat ‘Assisambung Kana’ ini adalah ‘Sipakatau Sipakainga’, atau dalam bahasa yang lebih santun bahwa pemerintah menghargai masyarakatnya dan demikian sebaliknya, masyarakat menghargai pemerintahnya. Bila diantara keduanya ada yang melakukan kekeliruan atau kesalahan, maka sebuah proses ‘Assisambung Kana’ dibutuhkan. Dibutuhkan khususnya dalam upaya menemukan kembali ruh pasar lokal kota Makassar yang pernah ada dalam lintasan sejarah pasar di kota Makassar atau dalam bahasa Makassar ‘Ni buntuluki ammotere pasaraka’.
Dalam perjalanannya, AcSI bersama SADAR telah melangsungkan 2 kali tudang sipulung dalam bingkai ini, Assisambung Kana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar