Kamis, 07 Januari 2010

Sebuah Surat Untuk Walikota Makassar

Hari masih pagi. Saat itu tanggal 14 Mei 2009. Pedagang dan pembeli pun masih saling sapa dengan sisipan canda dalam tawar -menawar. Pasar Terong yang ‘kumuh’ dipenuhi warna dari aneka macam tenda, meja, dagangan, aroma, ragam orang dan nyaris tanpa keheningan sejak dini hari.

Tidak seperti biasanya, ada lima anggota polisi dari sekta Bontoala berseliweran di salah satu sektor dari 8 sektor di pasar ini. Tak lama, mereka memasuki warung kopi di sektor tangga selatan, Warkop Herman. Mereka duduk dan memesan kopi susu. Sebuah pesan telah membawa mereka kemari. Pesan itu sederhana saja: “Pedagang pasar Terong hendak melakukan demonstrasi hari ini”.

Di dalam warkop itu, Enal-yang sering menemani pedagang mengadvokasi kepentingan mereka-terlihat duduk bersama para polisi itu. Mereka sedang negosiasi tentang rencana aksi ini. Beberapa hari sebelumnya PT Makassar Putra Perkasa kembali membuat resah pedagang dengan menggusur 40 pedagang sayur mayur dan aneka bumbu dapur yang berjualan di area Selatan gedung pasar ini. Sebuah bolduzer sudah dua hari belakangan ini menggali halaman depan pasar yang sehari-hari digunakan sebagai lahan parkir dan tempat berjualan. Menurut beberapa pedagang yang mendengar langsung dari pihak developer, alasan penggalian ini adalah memaksimalkan badan pasar menjadi kios mini.

“Pedagang bukan hendak berdemo, pak.” Enal masih berupaya menangkis logika berpikir Kepala Polsekta Bontoala, Rahman. Dikiranya hari ini pedagang di bawah koordinasi Persaudaraan Pedagang Pasar Terong (SADAR) dan Active Society Institute (AcSI) sebagai pendamping pedagang akan demonstrasi ke polwiltabes Makassar.

“Kami memang akan ke polwiltabes, tapi bukan hendak unjuk rasa melalui demo, tapi melalui sebuah surat permintaan perlindungan.” Demikian Enal menjelaskan sekali lagi. Kapolsekta Bontoala dibantu salah satu rekannya yang duduk di samping kiri Enal juga berusaha melunakkan hati Enal untuk tidak ke polwiltabes. Dia ingin aksi ini dialihkan ke polsekta saja atau ke DPRD sebagai penerima aspirasi.

Enal yang saat itu didampingi oleh penulis dan kawan-kawan di AcSI tetap tak bergeming. “Ini hasil rapat yang sudah kami dan pedagang sepakati, pak. Kami tidak akan mengecewakan mereka.” Tak ada keputusan.

Hari sudah beranjak siang. Pukul 10.00 wita beberapa kali kapolsekta menelpon ke polwiltabes untuk meminta petunjuk atau entah apa. Begitu terus, berulang kali dia membujuk kami dan berulang kali pula dia menelpon atasannya. Dalam kepolisian, ini memang persoalan paling sulit untuk diperbaiki. Anggota kepolisian kesulitan melakukan diskresi atau inisiatif untuk melakukan sesuatu yang dianggapnya benar tanpa harus tergantung kepada atasannya.

Beberapa kali aku memilih keluar dan membiarkan Enal terus mempertahankan apa yang sudah disepakati kemarin sore di rumah salah seorang pedagang, Hj. Nanna, di Jalan Kubis. Ada puluhan pedagang hadir pada hari itu. Dan kini mereka terlihat resah. Aku bisa melihat Pak Unding dan Daeng Nur yang ditugaskan menjadi koordinator para pedagang yang akan ikut ke polwiltabes gelisah memperhatikan waktu yang terus bergulir. Lima belas menit kemudian mereka sudah harus bergerak. Tak bergerombol dan tak mencolok. Mereka jelas menghindari bergerombol sebagaimana kesepakatan hasil rapat kemarin itu. Aksi ini hanyalah langkah awal untuk sebuah gerakan sosial yang lebih besar. Aksi hari ini bukanlah tujuan, tapi hanya pintu masuk bagi aksi yang lebih besar di masa datang.

Mereka utamanya adalah 40 pedagang yang dirugikan dengan rencana pembongkaran halaman muka gedung pasar Terong. Sehari sebelumnya, tanggal 13 Mei 2009 ada aksi tanda tangan di delapan sektor di luar gedung pasar Terong. Ini juga bagian dari kesepakatan dalam rapat sebelumnya tanggal 10 Mei 2009 di rumah yang sama. Mereka bersepakat untuk bahu membahu membangun gerakan perlawanan ini. Saat itu banyak wartawan datang, memotret dan mengambil gambar dari orang-orang yang dengan sukarela membubuhkan tanda tangan dan beberapa kalimat provokatif dalam spanduk yang membentang 3 meter. Dukungan ini sangat dibutuhkan bukan hanya sesama pedagang, namun juga kepada konsumen yang pasarnya terancam aksi penggusuran.

14 Mei,spanduk itu dibawa menuju polwiltabes dan rupanya sudah dijahit menjadi satu bentangan sepanjang 24 meter. “Luar biasa semangat mereka,” decak batinku. 13 pedagang lainnya juga sudah disepakati untuk mengusung 13 huruf yang menunjukkan kegelisahan pedagang.

Enal sudah keluar dari warkop itu tanpa keputusan apa-apa selain terus melanjutkan rencana semula. Kini dia sedang mengorganisasi ke-13 pedagang itu, seorang di antaranya adalah perempuan, seorang ibu yang akan mengusung simbol ‘dan’ yakni ‘&’, sementara huruf lainnya membentuk 2 kata, ‘RESAH’ dan ‘GELISAH’. Semuanya berbaris dan mengelilingi Enal yang saat itu mulai memberi instruksi untuk berangkat. Ia juga mengingatkan untuk tetap pada kesepakatan awal yaitu tidak bertindak berlebihan. Pertimbangannya, karena ini bukan aksi demo seperti yang biasa dilakukan 5 tahun terakhir ini.

Kegelisahan Pedagang dan Ke(tak)pekaan Wartawan
Kami berangkat sekitar 10.30 Wita. Kebanyakan pedagang berboncengan dengan sepeda motor. Aku dan Enal serta beberapa pedagang memilih naik mobil Hj. Munirah, bendahara SADAR sementara pedagang yang bertugas mengusung 13 huruf itu naik mobil Daeng Lala, Ketua SADAR. Sebuah mobil open kap yang biasa digunakan mengangkut tomat dan aneka buah. Mayoritas pedagang yang berangkat ke kantor polwiltabes mengenakan kaos biru bertuliskan ”SADAR” dan motto yang tertera jelas di punggung mereka: “Manna Bori Para Bella, Kapa’ mai para baji’, assing kamma tonji balla’ se’re niruwai, dekkeng!”

Satu persatu pedagang itu tiba. Kasat Intel rupanya “geram” dengan berkumpulnya pedagang di sekitar kantor. Entah informasi apa yang sudah dilaporkan kepadanya sehingga kami begitu dicurigai. Dia berdiri di depan pagar dan mengamati satu persatu pedagang itu. Dengan nada mengancam dia meminta Enal untuk mengirimkan 5 orang saja sebagai wakil pedagang untuk bertemu dengannya. Sisa pedagang yang lain diminta untuk tidak berkumpul di sekitar kantor ini.

Setelah menjamin pedagang tidak akan berunjuk rasa, akhirnya kami menuju ruang Kasat Intel itu. Aku, Kepala Sektor Tangga Selatan Daeng Nur, Daeng Lala, Hj Munira, dan Enal sepakat untuk masuk bersama.

Seorang wartawan lokal turut serta dalam rombongan kecil ini. Namanya Arman dari harian FAJAR. Sebenarnya ada sekian wartawan sedang menuju kemari setelah mereka melakukan aksi di kantor Bank Indonesia cabang Makassar akibat kasus pemukulan wartawan SCTV di Jakarta sehari sebelumnya. Tapi karena waktu terus bergulir, akhirnya kami tak bisa menunggu mereka lebih lama lagi.

Pertemuan dengan Kasat Intel tidak berlangsung lama, hanya sekian detik saja. Awalnya ingin berbincang, namun karena ada wartawan jadinya dia menolak untuk bertemu. Aneh, rupanya intel polisi yang tampak ‘garang’ di luar tadi ini takut sama wartawan. Akhirnya dia meminta kami ke bagian pelaporan, sesuatu yang sejak awal sudah kami perkirakan. Tak terlalu jelas sebenarnya kenapa Kasat Intel saat itu sangat ingin menerima kami.

Kami kembali ke lantai dasar dari lantai 3 ini. Menuju ruang pelaporan dan bertemu dengan beberapa polisi yang sedang berjaga. Beberapa dari mereka terlihat ramah namun ada juga yang bersikap tak acuh. Ada kesan, semakin tinggi pangkat polisi semakin ramah atau berhati-hati ia bicara. Aku rasa ini budaya di kepolisian yang mungkin mereka tidak sadari. Bawahan kerjanya mempertontonkan otot dan gertakan suara, sementara yang di atas lebih banyak berpikir dan pandai memilih kata dalam berbicara. Pertemuan berlangsung sekitar 30 menit. Tak banyak informasi penting selain penjelasan jalur-jalur pelaporan atau perlindungan hukum yang bisa ditempuh di kantor ini.

Menurut informasi dari Sunardi, salah seorang kawan AcSI, wartawan sudah pulang satu demi satu. Rupanya sudah beredar kabar bahwa pedagang di sini dilarang membentangkan spanduk. Aku memprediksi ini tak bernilai berita di benak wartawan, khususnya media televisi. Untuk peristiwa seperti ini, ‘aksi’ akan jadi sebuah berita jika ia riuh teriakan dan bentangan spanduk. Di luar itu, ini akan jadi keping kegelisahan warga yang ditolak meja redaksi.

Kami akhirnya pulang. 13 pedagang itu bangkit begitu melihat kami muncul dari balik pagar kantor polisi ini. Mereka mengenakan lagi topi caping yang mereka jinjing atau pangku sejak menunggu tadi.

“Kita akan lanjutkan press release di pasar Terong.” Begitu Enal memberi instruksi.

Sebuah surat untuk Walikota Makassar
Semua kembali ke pasar. Tujuan awal tercapai. Laporan pengaduan bahwa PT Makassar Putra Perkasa dan Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya telah menimbulkan keresahan sudah disampaikan. Tinggal menunggu bagaimana kinerja polisi. Tentu saja kami skeptis. Tidak menutup kemungkinan jaringan kepolisian ini lemah di hadapan pengusaha dan politisi, bukankah Kadir Halid adalah politisi dari partai Golongan Karya yang notabene Ketua DPD-nya adalah Ilham Arief Siradjuddin, wali kota Makassar ini. Mungkin saja. Tapi kami tak peduli. Sekali lagi langkah ini hanya pintu masuk. Bukan tujuan sesungguhnya.

Tiba di pasar, spanduk 24 meter itu dibentangkan. Ada beragam kalimat yang sengaja dicetak. Di antaranya berbunyi “Stop Penggusuran Pedagang Pasar”, “Stop Premanisme”, “Berjualan bukan Kejahatan”, dan “Persaudaraan Pedagang Pasar Terong”. Di bawah setiap tulisan itu beragam tanda tangan dibubuhkan dan di depan bentangan spanduk itu, 13 pedagang berdiri memegang huruf ukuran besar bertuliskan “RESAH & GELISAH”.
Enal meraih mikrofon, memberi yel yel penyemangat dan mulai membuka sebuah surat yang sengaja ditulis beberapa hari sebelumnya. Surat ini berjudul “Surat untuk Kau Wali Kota Aku”. Surat yang berisi kegelisahan selama pendampingan di pasar Terong. Sebuah surat yang atas izin Enal kutampilkan di note facebook-ku. Saat itu ada beberapa respons positif dari pembaca yang sengaja ku-tagged dan kawan lain yang sempat membacanya. Aku juga menampilkannya pada buletin ‘SADAR’ (100 eksamplar) yang dibaca pedagang pasar dan pihak-pihak tertentu yang punya perhatian pada pasar.
Orang-orang ramai, berkumpul bersiap mendengarkan Enal berpidato. Wartawan dari Trans TV mengarahkan kameranya ke Enal dan berganti-gantian ke orang-orang di sekelilingnya.

Berikut bunyi surat yang dibacakan dengan lantang itu:

Surat untuk Kau Wali Kota Aku

Sewaktu menuliskan surat ini, Aku sedang berada di pasar Terong. Berharap Kau belum tidur karena besarnya masalah yang terjadi di Makassar. Jarum di jam tangan Aku menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Aku melihat para pedagang pengumpul dari berbagai pelosok daerah berdatangan dengan mengendarai aneka kendaraan mulai sepeda, motor, mobil pick up hingga truk Fuso. Mereka mempunyai tujuan yang sama yakni pasar lokal ini untuk menjual barang dagangan Mereka.

Ada berbagai jenis sayuran, tomat dan cabai, aneka beras, buah-buahan, telur hingga rempah-rempah dalam berbagai takaran dan ukuran. Para pedagang pengumpul sampai di pasar ini mengawali transaksi dengan para “punggawa” pasar. Lalu, transaksi berikutnya terjadi antara para punggawa dengan para pedagang kecil yang akan memperoleh barang dagangan sesuai kemampuan. Uniknya, Aku melihat, cara pembayaran mereka beragam. Bagi yang mampu mereka memilih tunai, sementara yang tidak, akan memilih kredit. Kepercayaan menjadi kunci transaksi ini.

Tahukah Kau, sekian lama mencermati pasar-pasar lokal Kita, Aku melihat pasar Kita kian padat dan tak terawat. Keberadaannya kemudian makin sulit terurus. Mohon maaf, sepertinya, selama ini, sekian puluh tahun, pemerintah kota Makassar tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang bagaimana cara mengelola pasar lokal. Padahal kalau hal ini dikelola dengan baik, maka luar biasa manfaatnya terhadap warga Kita dan pencitraan bagi pemerintah kota Makassar itu sendiri.

Kau lihat saja geliat pasar Terong ini. Mampu menampung ribuan warga kota dan sekitarnya untuk bekerja walau tanpa ijazah sekolah sekalipun. Sementara mall, Carrefour, Hypermart dan aneka pasar raksasa itu hanya menjadi harapan segelintir anak sekolahan yang kehilangan pilihan pekerjaan. Pasar lokal ini mampu menyerap aneka barang dan kebutuhan pokok dari banyak petani di banyak kampung tetangga, lalu mendistribusikan kembali barang-barang itu untuk warga lain di 18 provinsi. Dari ujung desa di Selayar hingga tengah kota Jakarta. Dari berbagai kampung di pegunungan dan pesisir Sulawesi hingga ke lembah-lembah Papua sana. Semua tergantung pada pasar lokal Kita. Bahkan pasar Terong ini pula yang menjadi ukuran dasar harga-harga sembilan bahan pokok (sembako) oleh Radio Republik Indonesia (RRI) yang disiarkan setiap malam sejak dahulu hingga sekarang.

Tapi, mengapa pasar lokal Kita terus menjadi kumuh dan semrawut?

Wali kota Aku, atau Aku sebut saja nama Kau, Aco yang Aku cintai,
Pernah Aku melihat peta kota ini. Tertulis di kertas lusuh itu angka 1955. Aku coba mencari ada berapa pasar lokal Kita saat itu. Aku temukan hanya lima saja. Pasar Butung, pasar Tjidu, pasar Kalimbu, pasar Baru, dan pasar Lette. Juga dua pasar pelelangan ikan, Gusung dan Kampung Baru. Aku juga pernah lihat di website pemerintah kota ini dimana Kau menjadi pemimpin, sebuah foto pasar Boetoeng di awal berdirinya tahun 1917. Pasar ini, begitu rapi dengan model hamparan yang hingga kini (sebenarnya) masih menjadi ciri khas dari banyak pasar lokal kita yang mungkin kata Kau: “tradisional”.

Menurut Kau, apakah karena dia “tradisional” lalu Kau akan lebih memilih menata pasar luar negeri yang kata orang-orang kota itu “moderen”? Tidakkah Kau rasa kota ini jadi sesak karena beton-beton pasar “moderen” itu semakin menyudutkan palapara’, pagompo, parappung, pamejang, palembara, dan sebagainya, pedagang yang modalnya mungkin tak lebih besar dari uang jajan harian anak-anak kaya kota ini.
Aco, (maafkan Aku bila Kau tak berkenan Aku panggil Kau seperti itu),
Aku menghitung, pasar lokal di kota Kita sudah mencapai 50 buah [ini kritik untuk hitungan anak buah Kau yang menyebut hanya 33 pasar lokal; 13 Dia sebut resmi dan 20 dia sebut pasar ‘darurat’]. Hitungan Aku menunjuk ada 16 pasar resmi dan 34 pasar lainnya yang kerap dicap ‘Liar’ atau ‘Kaget’ (seolah mereka timbul begitu saja).

Kau pasti tahu kenapa jumlah pasar lokal ini terus bertambah walau Kau dan teman-teman Kau terus menggusur pedagang-pedagang yang Kau sebut berkaki lima. Itulah cara paling aman untuk hidup, Aco! Kau pasti tahu itu. Kau pasti tahu kenapa trotoar kota Kita selalu jadi tempat paling nyaman buat Mereka untuk berjualan atau dikejar-kejar polisi Kau yang tahunya mengacung-acungkan pentungan dan membongkar saja.

Aco, kalau Kau tanya dari mana mereka berasal, maka banyak dari Mereka akan menjawab, “Kami berasal dari kampung. Kampung yang tak lagi punya tanah untuk Kami. Kampung yang sudah dijejali sepeda motor, mobil, truk, dan apa saja yang bermesin datang dari segala penjuru kota dan merampas apa saja yang dulu milik Kami. Tanah, Pekerjaan, dan bahkan sebuah mimpi tentang anak Kami yang meniup seruling bambu di atas seekor kerbau di lahan lumpur nan subur. Kami datang dari kampung! Hanya punya sepeda tua dan bambu yang Kami anyam untuk keranjang buah yang tak seberapa. Kami terpaksa menyerbu kota Kau. Saat Kau dan penduduk kota masih terlelap atau sedang asyik menatap kotak kaca melihat bola diperebutkan dan berteriak-teriak seperti tak ada apa-apa terjadi dengan kampung-kampung Kami. Kami hanya ingin membawa oleh-oleh pulang ke rumah dari seribu dua ribu yang kami peroleh dari pasar-pasar Kau atau trotoar-trotoar Kau untuk anak dan istri Kami yang menunggu.”

Mereka menyerbu kota Kita, Aco. Mereka adalah orang-orang dari negeri yang dirampas haknya. Orang-orang yang tak pernah bermimpi tentang teori pertumbuhan ekonomi seperti Kau yang kemudian lebih suka beton ketimbang tenda penuh warni dan anyaman bambu.

Aco, Aku berharap Kau masih menggenggam surat Aku ini,

Di pasar lokal kita (bisa Kau lihat di pasar Terong) ada dua pimpinan pasar, walau Aku lebih senang menyebutnya 3. Kau punya Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya dan Teman Kau developer PT Makassar Putra Perkasa. Biarlah Aku sebut saja di sini yang satunya, Preman, yang entah bekerja untuk siapa seringkali menciptakan derita kepada pedagang yang dititipkan entah oleh siapa.

Ini sumber masalah menurut Aku dan banyak pedagang bilang begitu. Mereka berbuat seenaknya seolah ribuan pedagang di dalamnya menumpang begitu saja di sana. Padahal kalau Kau tahu sejarah berdirinya pasar Terong sejak tahun 1960-an, maka Aku yakin Kau akan terharu melihat orang-orang sekampungmu di sana turut bersusah payah hidup dan bertahan di sana hingga sekarang ini.

Aturan Kau memang tidak bersahabat dengan pedagang kecil di sini. Pernah Aku membuka-buka lembar yang Kau sebut Perda No. 12/2004. Nafasnya begitu suram penuh aroma otoritarian. Tak ada nama pedagang di sana, pun sekadar menjadi kawan dalam mengambil keputusan untuk penataan pasar. Yang ada hanyalah ‘sang otoritarian’ yang bernama direksi Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya untuk mengelola pasar dan pengawasnya (yang mungkin otoritarian yang lain).

Aco yang baik, Kau tentu akan sibuk kembali di lima tahun ke depan.

Makanya Aku ingin segera menuntaskan surat ini. Kau mungkin tidak tahu kalau filosofi pedagang di pasar lokal Kita berbeda dengan pasar luar negeri yang angkuh itu. Di sini, para pedagang memegang falsafah ‘saling menghidupi’. ‘Sitallassi Parangta’ Rupa Tau’ dengan 2 prinsip utama, yakni kejujuran (lambusu’) dan tanggung jawab (pammentengang). Berpegang pada filosofi inilah pedagang menghidupi keluarga kecil mereka.

Kau adalah satu harapan dari sekian harapan yang bisa digapai pedagang pasar lokal kota Kita. Kau perlu dengarkan suara-suara Mereka. Kau bisa bersama Mereka dalam menemukan kembali ruh pasar lokal kita yang pernah ada dalam lintasan sejarah pasar di kota Makassar, ‘Ni buntuluki ammotere pasaraka’.

Demikianlah, surat Aku untuk Kau, wali kota Kita. Mungkin Kau akan bertanya-tanya siapa Aku. Aku hanya teman pedagang di pasar-pasar lokal Kita. Teman dalam suka dan duka Mereka. Teman yang bisa sedih dan juga bisa marah kalau para pedagang pasar lokal terus-menerus ditindas oleh kebijakan yang tak berpihak pada mereka. Aku hanya kawan Kau yang punya obsesi memiliki pasar lokal yang bersih, aman dan tersohor. Aku harap Kau bisa membantu Kami.

Cukup surat Aku ini. Aku menitipkan sebuah kalimat yang melekat di hati Kami. ‘Manna’ Bori’ Para Bella, Kapa’ mai Para Baji’, Assing kamma tonji Balla’ se’re Ni ruwai, Dekkeng! (Walaupun kampung Kita sama jauhnya, tapi hati Kita sama baiknya, ibaratnya satu rumah Kita bersama, wahai saudara Aku!).



Sewaktu surat itu dibacakan, para pedagang dengan khidmat mendengarkan. Mereka bertepuk tangan dan membenarkan kondisi-kondisi itu. Enal memang punya daya magis dalam menyampaikan pikiran-pikirannya, pun melalui pembacaan surat yang bukan kebiasaannya ini. Biasanya dia hanya duduk bersama-sama pedagang dan bercerita dalam bahasa Makassar yang kental. Penuh pesan dan penuh humor. Benar-benar menjadi teman pedagang.

Agenda hari ini sudah usai. Kami beristirahat di sebuah ruko yang belum selesai dibangun. Daeng Nur memesan 6 piring nasi campur dari warung makan di sisi kiri kami. Kami, para pedagang bersenda gurau. Melanjutkan aktivitas pasar. Namun karena pembeli semakin berkurang maka banyak dari pedagang bergabung dalam obrolan ini.
Ada tanya kemudian terbersit, “Akankah wali kota ini menyempatkan diri membaca surat ini ataukah dia sama sekali tak pernah membacanya?”

Ketegangan Pedagang Berhadapan Satuan Polisi Pamong Praja

Kamis, 19 Mei 2009, menjelang Magrib, Daeng Nur, kepala sektor tangga Selatan meneleponku. Ada surat dari perusahaan daerah Pasar Makassar Raya tentang penyampaian agar pedagang di sektornya mengosongkan area di sana selambat-lambatnya tanggal 20 Mei 2009. Aku menyarankan agar dia tidak perlu panik dengan surat itu dan besok, sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan, AcSI akan rapat bersama pengurus SADAR.

Sore itu memang sudah banyak pedagang yang berkemas bahkan pulang. Jadi tidak seluruhnya menerima surat itu secara langsung. Esoknya, pukul sepuluh tiga puluh aku sudah di tengah pedagang pasar. Agung, seorang rekan AcSI menyodorkan surat yang diceritakan Daeng Nur kemarin. Surat ini aneh sekali. Begitu kasif waktu yang disediakan bagi pedagang untuk mengosongkan area itu. Sepertinya perusahaan daerah Pasar Makassar Raya sedang menghadapi mesin yang bisa dengan mudah memindahkan sesuatu dengan sekali tekan tombol. Padahal yang mereka hadapi adalah manusia, sekumpulan orang-orang yang punya nyawa, pikiran, dan perasaan.

Beberapa pedagang mulai resah. Menurut selentingan kabar dari salah seorang keamanan di sini pukul tiga sore ini akan datang satuan polisi pamong praja untuk memaksa pengosongan area ini.

Pukul 11 tepat aku sudah di rumah Hj. Nanna, salah seorang pengurus organisasi SADAR. Belum ada siapa-siapa hadir. Aku menelepon Enal dan katanya dia sudah dalam perjalanan kemari. Satu persatu pengurus SADAR datang. Mereka membicarakan surat—bernomor 305/152N/PD.PSR/2009 yang ditanda tangani oleh direkturnya Kadir Halid (kini terpilih sebagai anggota DPR)—dan berharap ada sesuatu yang perlu dilakukan kalau-kalau satpol PP benar-benar datang dan mengulang kasus pembongkaran yang pernah terjadi tahun 2007.

Rapat siang itu akhirnya molor hingga pukul satu siang karena azan mesjid berkumandang dan beberapa pedagang memilih untuk shalat dzuhur terlebih dulu. Kami sekedar berbincang sambil menunggu mereka kembali dari mesjid. Kubaca lagi surat itu. di kop surat kebetulan tertera nomor telepon kantor perusda dan menanyakan kepastian isi surat itu. Seseorang menerima teleponku dan menjelaskan bahwa surat itu benar adanya. Aku tanyakan kenapa waktunya mendesak sekali. Menurutnya, perusda sudah berulang kali menyampaikan hal itu. Namun, saat aku konfirmasi oleh siapa dan kepada siapa, orang itu memilih menutup telepon dengan semena-mena.

Aku sampaikan kepada pedagaang saat itu bahwa surat itu benar adanya.
Pukul 1 siang, pedagang yang sudah menunaikan shalatnya tiba dan rapat segera dimulai. Baru saja rapat dimulai, ada kabar bahwa sudah ada beberapa satpol PP di jalan Terong. Daeng Nur minta izin keluar untuk melihat situasi di luar. Suasana rapat menjadi tidak tenang. Enal yang memimpin jalannya rapat mewanti-wanti pedagang untuk tenang. Kejengkelannya memuncak. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada jalan lain selain menyusun siasat baru. Karena penggusuran sudah di depan mata maka agenda terdepan adalah ‘pagar betis’, mempertahankan area ini.

Langit di luar mendung. Tak lama hujan rintik-rintik. Para pedagang berkumpul gelisah. Beberapa tetap menjual dan melayani pembeli yang datang. Aku juga mulai gelisah. Haruskah peristiwa 2 tahun lalu terulang? Ketika satpol PP dengan segala kuasa dan kekuatan yang dimilikinya merangsek pedagang yang kemudian mundur tak berdaya? Aku berjalan di sisi kanal jalan Sawi. Penjual cakar bercengkerama seakan tak menyadari di sektor Selatan sedang terancam. Aku berpikir mencari tahu bagaimana relasi kuasa ini pada akhirnya selalu memaksa yang kuat untuk mendorong kehendaknya di titik paling purba komunikasi antar manusia, kekerasan!

Diakhir rapat tadi, Enal meminta pedagang berdiri bersama, menyampaikan ‘sumpah setia’ seluruh yang hadir untuk tidak lari dalam perjuangan ini. Enal tak lagi menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa ini tidak mampu mewakili sakrilatas yang hendak dibangun oleh Enal. Dia memilih bahasa Makassar. Seperti ‘Angaru’ di zaman perang kolonial dahulu. Ketika Sultan Hasanuddin bersama Karaeng Karunrung meminta sumpah setia dari para bangsawan kerajaan untuk melakukan perlawanan terhadap koalisi kerajaan Bone, Welanda, dan kerajaan kecil lainnya di Timur.

Enal sepertinya terinspirasi dari peristiwa itu. Perbedaannya satu, mereka yang bersumpah setia di pasar ini adalah orang-orang biasa, bukan orang berada dan bukan bangsawan semisal karaeng. Tiba-tiba lampu padam. Hanya kerlip lampu dari salah satu handphone dan sebuah bara dari ujung sebatang rokok entah milik siapa yang terlihat di sela lantang suara Enal yang membahana. Airmatanya menitik ketika mengucapkan betapa berharganya orang-orang di pasar ini. Kalau sampai Ferry Soelisthio, pengusaha PT. Makassar Putra Perkasa benar-benar mengusir pedagang ini maka dia rela untuk dipenjara bahkan mati sekalipun dalam perjuangan ini. Semua orang yang berdiri tunduk dalam gelap. Setelah mengucap salam kami lalu kembali ke sektor Selatan.

Aku masih berjalan, berbelok ke kiri dan naik ke lantai dua tempat pedagang cakar memenuhi ruang yang pengap dengan aneka pakaian bekas. Aku lalu menuju Utara berharap menemukan berita-berita yang mungkin perlu diketahui. Bagian Utara memang bersebelahan dengan Selatan dan di sanalah kekuatan lain bercokol. Di sanalah Daeng Turu’, seorang preman pasar dan anggotanya berada. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Aku memilih kembali ke Selatan.

Orang-orang di Selatan masih berkumpul. Menikmati hujan. Kata Enal, ini pertanda kemenangan pedagang kecil. Semoga saja.

Pukul 15.30, sekitar sepuluh anggota satpol PP melintas dari arah Selatan jalan Terong menuju Utara ke arah jalan mesjid Raya. Aku melihat aparat keamanan berjaga-jaga. Ada Kaplosekta Bontoala dan Danramil berdiri ditemani ‘pembina masyarakat’ dari jajarannya. Aku juga melihat seseorang mengenakan baju safari dengan lambang garuda perunggu di kantong sebelah kanannya, Lurah Tompo Balang. Komandan regu satpol PP yang berbadan kecil mengatur anak buahnya dengan handy talky. Aku juga melihat Sunarya, direktur PT. Makassar Putra Perkasa dimana Ferry Soelisthio sebagi komisaris terlihat menunjuk ke arah traktor yang berdiri tepat di depan gedung pasar Terong sambil menjelaskan sesuatu kepada H. Ardi salah seorang pegawai pemerintah yang bekerja di perusahaan daerah Pasar Makassar Raya. Seorang yang ‘belangnya’ dibenci banyak pedagang khususnya di sektor Selatan, Sawi, Kubis dan sekitarnya.

Bagian Utara sekali lagi adalah tempat yang nyaman bagi mereka. Dan entah sadar atau tidak, lagi-lagi para pembesar ini menempati area itu. Mobil tahanan polisi atau dikenal di sini mobil ‘bombe’-bombe’, truk yang mengangkut satpol PP, dan beberapa mobil mewah parkir di sana. Sementara di pintu sektor Selatan pedagang-pedagang sudah bersiap siaga menjaga kalau-kalau serangan tiba-tiba datang.

Suasana genting!

Pukul 17.00, pedagang demikian cemasnya. Enal beberapa kali membangkitkan semangat mereka untuk bertahan atau mengobrol dengan pengurus inti SADAR yang hadir di situ. Hari semakin sore dan belum ada upaya dari kedua belah pihak untuk membuka komunikasi. Dalam suasana seperti ini kejernihan berpikir harus tetap didahulukan dan kebekuan harus dipecahkan. Sedikit provokasi saja suasana akan pecah dalam kekacauan.

Aku menuju Utara sekali lagi. Beberapa reserse yang dengan mudah dikenali ada di sepanjang jalan Terong. Ada yang duduk di sebuah becak atau berjalan ke sana kemari memantau keadaan. Harus ada komunikasi langsung dalam situasi simpang siur ini. Terbersit pikiran seperti itu. Aku memilih kembali ke Selatan. Menemui Enal yang masih ada dalam kerumunan pedagang. Lebih baik kita ketemu mereka untuk bicara. Enal setuju. Segera kami panggil ketua SADAR Daeng Lala dan kami menuju kesana. Gideon Lebang, anggota AcSI kutitipkan pesan untuk terus menjaga komunikasi dengan Agung—dan beberapa mahasiswa yang sengaja datang memberi dukungan—yang standby di Selatan dan memberi tahu kalau kita sedang menuju Utara.

Pedagang-pedagang di Selatan memandangi langkah kami. Jarak dari Selatan ke utara hanya selebar gedung pasar terong. Sekitar 50 meter saja. Jalanan ramai sekali. Orang pertama yang menyambut kami adalah pak Arief, anggota Binmas koramil. Sekedar bersalaman saja dengannya kami terus berjalan. Sudah dipertengahan jalan. Orang-orang di Utara menyadari kehadiran kami. Sunarya yang masih berdiri dan nampak sibuk menyalami kami. Tiba-tiba ada yang mengusulkan bertemu di kantor UPT pasar Terong di lantai dua. Entah siapa yang kemudian memberitahukan para pembesar di sini dan kemudian bersama melangkah ke lantai dua.

Danramil dan Kapolsekta Bontoala sudah ada di belakang kami. Ada juga pak Ilyas (kepala pasar Terong), H. Ardi (pegawai Perusda), Sunarya, Lurah Tompo Balang dan komandan regu Satpol PP, serta beberapa yang lain. Aku tidak menyadari kalau ada banyak yang mengikuti kami menuju kantor pasar. Dengan sepengetahuan Daeng Lala aku memasukkan alat perekam mini di kantong bajunya. Untuk jaga-jaga saja.

Tiba di kantor itu, pembicaraan langsung dibuka oleh pak Lurah. Sebelumnya beliau minta supaya ruangan steril dan hanya perwakilan pedagang saja yang hadir. Tapi upayanya sia-sia. Baru saja pembicaraan dimulai pintu perlahan terbuka dan satu demi satu orang masuk dan yang lain mengintip mendengar pembicaraan.

Pak Lurah minta pihak developer menyampaikan maksudnya dan meminta perwakilan pedagang untuk bersuara. Diskusi kemudian bergulir. Beragam pendapat terlontar. Dimulai oleh Sunarya yang memaparkan rencana perombakan sisi Selatan dan pembangunan kembali ruko di sana. Dia mengharapkan agar pedagang dipindahkan ke Utara atau maju sekitar lima meter untuk pembangunan ruko. Namun, menurut Daeng Nur, tidak ada jaminan status bahwa tempat di Utara adalah aman dan tidak bermasalah. Dari rentetan pengalaman selama ini, Daeng Nur menduga bahwa ini hanya akal-akalan developer dan perusda saja. Tempat berjualan di sana sudah ada pemiliknya semua. Jadi dugaan Daeng Nur, pemindahan ini hanya akan membenturkan pedagang dengan sesama pedagang. Namun H. Ardi memberi jaminan bahwa hal itu tidak akan terjadi dan bahwa tempat di sana akan dijamin aman oleh perusda.

Enal berusaha menengahi persoalan ini. Dia memaparkan solusi jangka panjang ketimbang solusi jangka pendek dengan memindahkan pedagang ke Utara. Menurutnya, sisi Selatan sudah selayaknya diperhatikan. Dengan membenahi itu, maka banyak pedagang dari luar di sepanjarng jalan Terong dan sepanjang Kanal bisa bisa ditata. Tapi waktu demikian singkatnya. Azan Magrib sudah berkumandang. Lurah dan beberapa pegawai pemerintah sudah resah dan memaksa harus ada keputusan. Karena kasifnya waktu maka jalan keluarnya (bukan jalan keluar dari masalah nasib pedagang kecil, tapi jalan keluar untuk mengakhiri pertemuan ini) adalah harus ada lembar berita acara yang akan ditandatangani oleh semua pihak akan apa-apa saja yang menjadi kesepakatan antara pedagang, developer, dan pemerintah dalam hal ini perusda.

Akhirnya disepakati batas ditandatanganinya lembar berita acara itu adalah tanggal 25 Mei 2009. Semua yang hadir senang. Kecuali Daeng Nur yang tidak puas dengan ketidakjelasan posisi di Utara bila sewaktu-waktu mereka harus pindah ke Utara. Dia seperti membayangkan benturan antar pedagang. Dia tahu persis bagaimana pola semacam ini terus menerus jadi solusi yang pada akhirnya membuat pedagang berseteru dengan pedagang lainnya, sementara developer terus saja membangun dan membangun seolah tanpa manusia di dalamnya.

Apapun keputusan di dalam, menurutku kurang penting. Yang terpenting adalah pecahnya kebekuan yang berlangsung sejak pukul 3 sore ketika para satpol PP mulai berjaga-jaga dan pedagang sudah bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Komunikasi adalah demikian penting dalam situasi semacam ini. Masalah pasar Terong bukan masalah tata bangunan saja, tetapi lebih dari itu, ini adalah masalah hajat hidup orang banyak, dimana negara harus melindunginya.

Malam menjelang. Kami kembali ke Selatan. Di sini pedagang masih berjaga-jaga dan menyambut kami untuk mendengar hasil pembicaraan. Enal menjelaskannya dan berjanji dalam waktu dekat akan ada pertemuan untuk mengatur strategi selanjutnya. Tidak lama, Hj. Nanna mengajak kami ke rumahnya untuk santap malam. Hm, perut keroncongan ini akhirnya akan terpuaskan. Kami melintasi jalan Kubis lalu belok kanan menyusuri lorong sempit. Aroma pasar menyengat hidung dan orang-orang yang asyik saja bercerita dan tertawa di sisi lorong itu tak peduli kami berjalan melintas.

Gerakan Pedagang ini masih akan terus bergulir, begitu aku berpikir, sesaat sebelum mengucapkan takbiratul ihram mengikuti Enal yang menjadi imam saat shalat maghrib berjamaah.

Pasar Terong, 21 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar