Jumat, 08 Januari 2010

SEJARAH PASAR TERONG

Oleh Siswandi (Peneliti AcSI)

“Sebenarnya pemerintah sudah mau menolong, tapi mereka [seolah] memindahkan ikan ke atas daratan”

(Daeng Jama’, pedagang asam pasar Terong)

Walaupun bukan pasar tertua di Makassar, pasar Terong adalah salah satu pasar yang sangat dikenal di jazirah Sulawesi. Sebuah pasar yang kini bisa disebut tak terurus dengan baik walaupun tentu saja pemerintah kota dan khususnya warga Makassar dan sekitarnya telah memperoleh banyak manfaat dari pasar yang kerap dianggap “tradisional” ini. Sebuah istilah yang terus menerus digulirkan oleh bukan saja Negara tapi juga berbagai pihak yang ingin mencari untung melalui proyek modernisasi atau revitalisasi pasar. Sebuah istilah yang dipakai untuk menjelek-jelekkan bentuk fisik pasar tanpa melihat dinamika di dalamnya. Dinamika antara pembeli-pedagang, pedagang-pengurus pasar, pedagang-polisi, pedagang-pemerintah, pengembang-preman, pemerintah-preman, preman-pembeli, pedagang pengumpul-ponggawa pasar, ponggawa-pedagang pengecer, pedagang-bank, pedagang-rentenir atau ‘appa’bunga doi’ dan sebagainya. Belum lagi berbagai pungutan liar, intimidasi bagi pedagang oleh pemangku kuasa, penggusuran, penipuan, sampah, tangis hingga duka.

Pasar tradisional yang berada di kota Makassar dan terletak di jalan Terong, kelurahan Wajo Baru, kecamatan Bontoala. Pasar ini terkenal sebagai pemasok sembilan bahan kebutuhan pokok, seperti sayur-mayur, aneka jenis ikan, telur, buah-buahan, dll yang berasal dari berbagai daerah di Sulawesi-Selatan. Pasar ini juga setidaknya menyuplai kebutuhan di daerah lain hingga 18 provinsi di pulau Sulawesi khususnya dan Indonesia Timur dan sebagian Barat khususnya. Untuk menyebut beberapa daerah itu diantaranya Kendari, Palu, Gorontalo, Menado, Maluku, Kalimantan khususnya bagian Timur, pelosok Papua dari Sorong hingga Mereuke, sebagian Bali, NTT dan NTB bahkan beberapa bagian di Jawa Timur, Jawa Barat, Banten hingga DKI Jakarta. Bahkan pasar Terong juga mampu menyuplai sebuah Negara termuda, yakni Timor Leste.
Pedagang-pedagang pasar Terong

Di pasar Terong, ada berbagai ragam pedagang, sebut saja Palapara’ atau penjual yang sekedar menggelar tikar atau bakul sebagai area dan media dagangan mereka. Jenis pedagang inilah yang paling awal mendiami Terong sejak berdirinya di tahun 1960an bersama palembara’ atau jenis pedagang sudah sulit ditemui di Makassar dimana mereka menjinjing (pikulan) dagangan mereka (lihat gambar).

Dikenal pula di Terong ini Pagandeng atau pedagang yang menggunakan sepeda dengan dua keranjang besar di bagian belakang yang terbuat dari anyaman bambu dan ikatan rotan. Pedagang jenis ini mulai marak di pasar Terong di tahun 1970-an atau era walikota Daeng Patompo. Ketika pasar dibangun untuk pertama kalinya di tahun 1970 dan kendaraan bermotor mulai marak, pagandeng dengan sepeda juga satu persatu beralih ke motor. Hamper serupa dengan mereka, terdapat juga pedagang yang menggunakan media bergerak seperti Pakalontong atau pedagang yang menggunakan aneka kendaraan seperti sepeda, becak, gerobak, dan sepeda motor.
Banyak juga pedagang yang menggunakan meja sebagai media jualan. Disini mereka dikenal dengan sebutan pamejang. Meja yang digunakan terbuat dari papan atau anyaman bambu beralas terpal plastik. Berbeda dengan pedagang yang berada di dalam gedung dimana meja yang mereka gunakan adalah permanen dengan dilapisi keramik atau kerap disebut lods atau los.

Semua jenis pedagang tersebut di atas umumnya menempati lokasi di luar bangunan pasar (dibangun pada tahun 1996/7 masa walikota Malik B. Masri). Bagi pedagang di dalam gedung yang umumnya pedagang bermodal menegah dan besar yang tentu mampu mengakses harga kios dan lods yang mahal. Pedagang ini umumnya adalah penjual barang campuran seperti beras, minyak, lombok dan kecap kemasan, telur, susu, dll. Mereka juga kerap disebut sebagai pakios atau palos.
Gedung pasar ini terdiri dari tiga lantai dimana lantai satu juga ditempati barang campuran, kosmetik dan pakaian. Lantai dua ditempati oleh penjual perabot rumah tangga dan barang pecah belah seperti piring, gelas, panci, embe, dll dan penjual pakaian bekas alias cakar. Sedangkan Lantai tiga kini sudah kosong melompong (baca minitour gedung pasar Terong).

Selain dihuni oleh para pedagang, kawasan pasar Terong (gedung pasar dan sekitarnya) juga menjadi tempat mengais rezeki bagi penyedia jasa. Sebutlah para Papisi’ yakni sekelompok perempuan (tua maupun muda) yang melepaskan tangkai lombok/cabai, memotong akar bawang dan mengirisnya, menguliti dan mengiris ubi jalar. Ada juga parappung atau orang yang bekerja sejak subuh hari dengan membantu proses bongkar muat. Biasanya orang-orang ini juga memunguti barang-barang yang jatuh atau sudah dibuang tapi masih baik. Contohnya adalah kol, sawi, tomat, dan beras. Kol atau sawi yang sudah hitam lapis luarnya dia bersihkan atau kupas dan dijual kembali.
Terong dari masa ke masa

Adanya perubahan pasar yang dilakukan olah pihak pengusaha (dalam hal ini PT. Makassar Putra Perkasa) dan pemerintah kota (melalui Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya) tanpa melibatkan para pedagang telah membuat para pedagang kecil semakin terpinggirkan. Pasar Terong sendiri telah mengalami perombakan dari masa ke masa yang sudah dimulai sejak masa orde lama, orde baru hingga sekarang.

Awal 1960-an, “pasar” pertama (yang sekedar merupakan area kecil bertemunya pedagang dan pembeli) berada di ujung jalan Terong dekat jalan Bawakaraeng dan hanya sampai pada jalan Bayam. Beberapa tahun kemudian seiring dengan bertambahnya pedagang kemudian merembet sampai ke jalan Mentimun dan jalan Kangkung.

Saat itu, bila musim hujan, air tergenang di jalanan hingga buah mangga dapat dilihat mengapung di atas permukaan air. Rumah warga yang berada di sekitar jalan tersebut atau dikenal dengan sebutan Kampung Wajo Baru tiap tahun harus berlangganan dengan banjir. Saat itu lokasi tersebut sudah ditempati oleh berbagai macam pedagang seperti Palapara’ yang menjual sayur dan buah, penjual beras yang menggunakan bale-bale, serta pagandeng yang membawa sayuran dan buah berada di pinggir jalan.

Menjelang tahun 1965, saat jabatan walikota dipegang oleh Mayor M. Daeng Patompo, sudah mulai bergulir ide pembangunan pasar (resmi). Saat itu, pasar Terong belum begitu ramai. Pedagang dan warga sekitar menempati pemukinan yang masih berupa rawa-rawa sehingga digelari Tompobalang (kini, Wajo Baru karena merupakan pindahan dari Wajo Lama oleh pemerintahan Jepang).

Tak lama kemudian, rumah warga yang berada di jalan Kangkung habis terbakar. Warga sekitar lalu melakukan penimbunan lokasi yang berawa tersebut dengan sampah yang ditutupi dengan tanah dan pasir. Pedagang kemudian banyak menempati lokasi itu dengan membangun pasar darurat yang hanya bertiang bambu dan beratap nipa. Inilah bentuk bangunan pasar Terong sekitar tahun 1967 sampai tahun 1968, bertiang bambu dan beratap nipa.

Sejak saat itu, pemerintah mulai mencanangkan pembangunan pasar resmi. Sisa-sisa rumah yang tidak terbakar di jalan Terong dan jalan Kubis dipindahkan. Pasar darurat yang dibangun warga pun terpaksa dibongkar untuk rencana besar itu. Membangun pasar permanen. Warga (baik korban kebakaran maupun yang tidak) direlokasi ke beberapa wilayah seperti di belakang Kebun Binatang (dulu), jalan Rappokalling, jalan Rappojawa, jalan Korban 40.000, Cambayya, dan belakang Galangan Kapal (Capoa).

Tahun 1970, pasar pertama oleh pemerintah dibangun. Bentuk pasar masih berupa front toko dan lods-lods. Front toko berbentuk huruf "U" yang di tengahnya terdapat satu lods induk dan beberapa lods kecil yang mengelilinginya dengan bentuk berpetak memanjang, ada yang ukuran panjangnya 30 meter ada juga yang 20 meter.

Tahun 1971, setelah diresmikan oleh Walikota Patompo Pasar mulai ramai, pembeli yang datang ke pasar Terong ada puluhan orang karena keadaaan pasar sudah permanen, pembeli terus meningkat dari tahun ke tahun, 1980 sampai 1990-an.

Pada saat pak Mustari (1990-an) menjabat sebagai kepala pasar para pedagang kaki lima dilarang menjual di sekitar wilayah pasar, dengan dibantu oleh seorang tentara yang bernama Pak Sampe bersama dengan anggotanya yang juga tentara bertindak sebagai kepala keamanan di pasar Terong. Tentara-tentara itu memiliki empat pos jaga di setiap sudut, dua di masing-masing ujung jalan Terong dan dua di masing masing ujung jalan Sawi. Selain itu mereka juga melakukan pengawasan dengan berkeliling, berpatroli mengawasi pedagang yang menjual di luar pasar. Bagi pedagang yang berjualan bukan di dalam front toko dan lods maka tentara-tentara akan mengusir mereka dengan kekerasan seperti ditendang bahkan dipukul dengan kayu.

Pada masa yang penuh intimidasi itu, banyak pedagang kaki lima memilih pindah atau sengaja dipindahkan ke Panampu dan Pabaeng-baeng. Selama satu bulan berjualan di dua lokasi tersebut, pedagang merugi dan akhirnya memilih pindah ke pasar Kalimbu yang berdekatan dengan pasar Terong. Pedagang merasa bahwa pasar Terong belum aman disebabkan perpanjangan kontrak tentara yang bertindak sebagai pengamanan. Setelah merasa aman, di sekitar pasar sudah mulai berdatangan pedagang-pedagang baru dan pedagang lama dari pasar Kalimbu juga sudah mulai kembali ke pasar Terong.

Pada 1986, di depan front toko sebelah Timur sepanjang jalan Sawi ditempati oleh para pedagang sayur dan buah seperti semangka, jeruk, alpokat, rambutan, kedondong dan mangga. Kebanyakan dari mereka menggunakan meja (pamejang) sebagai tempat jualan walaupun sebagian berupa palapara. Di jalan kubis sebelah Selatan pasar juga ditempati oleh kebanyakan pamejang dan sebagian palapara, mereka menjual sayur, buah dan rempah. Di depan front toko itu pedagang menyewa tempat dari pemilik front toko tetapi ada juga yang hanya sekedar menumpang.

Di awal tahun 1990an, ide ‘modernisasi’ pasar ‘tradisional’ mulai marak di Indonesia, pun di Makassar. Dalam kurun waktu tersebut (1980an) sampai pada pembongkaran front toko dan los menjadi gedung pasar berlantai tiga (empat dengan basement) di tahun 1995/6, di sekeliling pasar tersebut, mulai waktu subuh sampai jam sebelas siang di tempati oleh pagandeng mulai dari jalan Sawi, Kubis dan Terong. Bangunan pasar berupa front toko dan lods-lods tersebut dibongkar pada tahun 1995 lalu dibangun Gedung pasar. Pedagang kemudian dipindahkan ke jalan Labu, mereka membangun kios-kios sederhana sepanjang jalan tersebut. Palapara’, Pamejang dan Pagandeng (masih bersepada) ramai menempati jalan Mentimun keliling sampai jalan Kangkung.

Setelah Gedung Pasar difungsikan pada tahun 1997, kios-kios di jalan Labu dibongkar dan pedagang dipindahkan untuk mengisi gedung tersebut. Namun, banyak bangunan yang tidak terpakai terutama lods-lods untuk para pedagang yang tidak bisa mereka pakai karena pembangunan pasar terlalu tinggi, mereka tidak mendapatkan tempat pada posisi bawah melainkan pada lantai tiga (terutama Pedagang sayur dan buah). Mereka tidak mau menempati lokasi tersebut karena menurutnya tidak ada pembeli yang mau naik. Pedagang yang tidak memiliki modal juga tidak sanggup membayar harga setiap kios yang disediakan.

Akibatnya, para pedagang seperti pameja, palapara dan pagandeng memilih menjual di luar gedung, menempati trotoar jalanan yang ada di di pasar Terong seperti jalan Terong, jalan Mentimun, dan jalan Bayam. Sebagian pedagang juga tetap tinggal di jalan Labu dan jalan Kubis dan kangkung sampai sekarang.
Sejak berdirinya gedung pasar Terong tahun 1996, pedagang-pedagang kecil itu resah dan gelisah. Berbagai aksi penggusuran terjadi dan mereka terus menerus diperlakukan tidak adil. Perlawanan dari pedagang sebenarnya juga terus berlangsung. Pada masa-masa dimana peran tentara begitu dominan, perlawanan pedagang tidaklah frontal. Mereka melawan dengan diam dan mencari-cari celah yang lebih aman dalam berjualan. Ketika kran demokrasi terbuka dan Soeharto tak lagi berkuasa, perlawanan pedagang sudah mulai frontal. Hingga sekarang ini sudah beberapa kali terjadi demo besar ke badan legislative, diantaranya tahun 2005 dan 2007. Melalui organisasi yang dibentuk yakni persaudaraan pasar Terong (SADAR) mereka berani melakukan perlawanan atas ketidakadilan.

Di tahun 2008/2009 SADAR bekerjasama dengan Active Society Institute melalui divisi mediasi center yang dikomandoi oleh Zainal Siko, gerakan perlawanan pedagang pasar terus membesar. Kini, perlawanan mereka kian sengit dan siap bertarung dalam ranah hukum. Mereka berani melakukan class action dan mengadukan pihak-pihak yang merugikan mereka seperti pemerintah kota dan pengembang.


1 komentar: